Music news for all people. Helping you to get any informations about music, all for music. Enjoy it and make your life better
Rabu, 07 Maret 2012
Vokalis Coldplay Tidak Menyesal Menamakan Judul Album 'Mylo Xyloto'
Melalui akun Twitter resmi milik Coldplay, @coldplay, ia mengaku pernyataannya di salah satu acara televisi tersebut hanya lelucon belaka.
“No regrets at all about 'Mylo Xyloto' as album title. We love it. Only regret attempting JOKE on early morning TV. CM,” tulis Chris melalui akun tersebut pada Selasa (6/3) kemarin.
Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah wawancara di acara televisi Good Morning America, Chris mengaku telah menyesal memberi nama album mereka Mylo Xyloto. Pada awalnya, Chris dan personel Coldplay lainnya ingin nama album terbaru mereka terdiri dari dua kata dan kata tersebut tidak akan bisa dicari artinya, bahkan melalui situs Google sekalipun, sehingga terpilih lah nama tersebut.
“Itu hanya sesuatu yang kami pikir akan terlihat sangat baik, tetapi kemanapun kami pergi berkeliling dunia orang-orang mengucapkannya dengan cara yang paling gila dan kami mulai menyesalinya sekarang,” ujar Chris.
Dalam wawancara tersebut,vokalis yang juga lihai bermain piano tersebut juga menceritakan bahwa Coldplay memilih nama Mylo Xyloto karena menurut mereka dua kata tersebut terlihat bagus memiliki dua huruf “O”.
Vokalis The Who: 'Oasis Akan Bersatu Kembali Empat Tahun Mendatang'
Berbicara kepada XFM, Daltrey mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri jika dua Gallagher bersaudara, Noel dan Liam akan menyatukan perbedaan mereka untuk bermain bersama lagi dan menjadi lebih populer dari sebelumnya.
“Anda cukup tahu bahwa mereka akan bersama - saya memprediksi dalam kurun waktu empat tahun. Dan itu akan menjadi ajaib. Mereka akan lebih besar dari yang pernah ada dan mereka akan minum dua kali lebih banyak,” kata musisi berkacamata ini.
Desember lalu dikabarkan bahwa Liam menegaskan dirinya akan terbuka untuk reuni dengan Oasis saat merayakan ulang tahun ke-20 album (What’s The Story) Morning Glory di tahun 2015 mendatang.
Sementara itu, sebulan kemudian, kakak Liam, Noel Gallagher seakan memudarkan harapan reuni itu. Menurutnya, sang adik punya aturan yang “susah” diterima Oasis, yang mana pasti sulit pula baginya untuk menyanyikan lagu-lagu yang dituliskan oleh orang lain.
Perpecahan Oasis terjadi tiga tahun tahun lalu saat Gallagher bersaudara bersitegang disebuah festival musik di Prancis yang dipicu perkelahian di antara keduanya. Insiden itupun mengakhiri “kisah” Oasis yang terbentuk sejak 1991 silam.
Pasca peristiwa itu, Liam, sang vokalis dan beberapa anggota lainnya membentuk band Beady Eye, sedangkan Noel sang kakak - gitaris Oasis dan pencipta lagu-lagu hit band tersebut di tahun ’90-an - telah merilis album solo pertamanya di bawah nama High Flying Birds.
Roger Daltrey sendiri saat ini dikabarkan tengah sibuk menjadi pengisi acara utama pada konser amal untuk Teenage Cancer Trust tahun ini. Dimana konser tersebut akan dimainkannya bersama beberapa artis lainnya seperti Pulp, Florence And The Machine, dan Paul McCartney di Royal Albert Hall, London pada 28 Maret nanti.
Senin, 05 Maret 2012
Paul McCartney, Yesterday and Today
“Ini sudah beberapa kali terjadi pada saya,” kata McCartney belakangan, sambil tertawa kecil. “Saya cukup menikmati momen itu. Ada metafora yang kuat di dalamnya. Tapi ada begitu banyak metafora dalam kehidupan saya – saya tidak mencarinya. Kehidupan seorang anggota The Beatles sarat akan metafora.”
Sambil menahan godaan untuk turun dari mobil dan berpose dengan penggemarnya, dia malah menuju lokasi keramat dengan aroma yang apek: Studio Two di Abbey Road. “Selamat datang di dunia saya,” kata McCartney, sambil melangkah melalui pintu ganda di belakang ruang seperti gimnasium yang berbentuk persegi panjang dengan langit-langit tinggi. Dia sedang mengunyah permen karet. “Kuno dan modern. Setiap kali datang ke sini, saya mengenang kembali seluruh kisahnya. Semuanya terjadi di sini.”
The Beatles merekam sebagian besar musik mereka, mulai dari “Love Me Do” hingga “The End”, dalam ruang bawah tanah berwarna putih yang jauh dari kesan glamor ini – dan juga lolos dalam audisi pertama untuk EMI di sini hampir genap 50 tahun yang lalu. Selain beberapa peredam akustik yang agak baru dan jam dinding yang berbeda, nyaris tak ada yang berubah. Di satu sudut, McCartney berteriak, “One, two, three, faw!” untuk membuka “I Saw Her Standing There”; di sudut lain, dia menghantam kord E-mayor pada salah satu dari sekian banyak piano yang terdapat di akhir lagu “A Day in the Life”.
Saat ini, tanpa alasan tertentu, dia sedang bermain drum. Tak lama setelah tiba, McCartney duduk di balik perangkat drum, mengambil sepasang stik dan memainkan beberapa bar dengan tempo cepat, dan banyak memukul high-hat. Terdengar sangat Beatles, atau setidaknya Wings.
McCartney menunjuk ke tangga di pojok ruangan, yang menuju ruang kontrol berjendela tempat George Martin dan para engineer bekerja. “Di sanalah tempat tinggal para orang dewasa,” katanya. “Tangga itu begitu khas, sehingga terukir dalam ingatan bagaikan mimpi.”
Cuaca pada hari di akhir Januari ini berangin kencang, tapi sesuai dengan sosoknya yang awet muda, pria berusia 69 tahun ini tidak memakai jaket – hanya rompi North Face hitam di atas kemeja denim rapi yang dimasukkan ke jeans berwarna gelapnya, yang mungkin juga baru diseterika. Di kakinya terdapat sepatu lari hitam dengan pinggir-an putih: Jika terjadi adegan massa histeris seperti di "A Hard Day’s Night", dia siap untuk bergerak. Rambutnya yang masih indah terlihat lebih berantakan dari biasanya, dan dia tampak agak pucat – dia telah bekerja terlalu keras.
“Ada begitu banyak kenangan saya di sini, Anda tak bisa membayangkannya,” kata McCartney. “Sulit dipercaya.” Dia menunjuk ke pojok belakang. “John berdiri di sana, menyanyikan ‘Girl’.” Dia menyanyikan refrain-nya, meniru suara Lennon yang menarik nafas dan berlagak mengisap ganja. “Orang-orang mengira itu yang terjadi – padahal bukan! Kami hanya suka suara desis itu. Semua kisah legendaris yang tercipta itu tidak benar. Beberapa malam yang lalu saya menonton program tentang The Beatles, dan dalam lima menit pertama terdapat empat kesalahan. Inilah sebabnya kita tidak tahu Shakespeare itu siapa atau apa yang benar-benar terjadi di Perang Hastings.”
Sebagaimana tersirat oleh insiden di penyeberangan, sebuah mitos berkepala empat yang kadang mengancam akan membayang-bayangi Paul McCartney, seorang manusia nyata – pengantin baru, dengan harta nyaris mencapai miliaran dollar, vegetarian yang taat, ayah putri berusia 8 tahun (serta empat anak yang sudah dewasa), penggelar konser tiga jam yang awet muda, pencipta lagu dan artis rekaman yang sangat aktif, komponis balet dan simfoni, ksatria kerajaan. Di album barunya, Kisses on the Bottom, McCartney menambah predikat “pelantun lagu-lagu standar” – ini adalah koleksi lagu-lagu pra-rock bernuansa jazzy, ditambah dua lagu McCartney yang diciptakan dengan gaya serupa.
Album ini sudah tertunda selama bertahun-tahun, antara lain karena orang-orang lain – dari Ringo Starr di tahun 1970 hingga Harry Nilsson di 1973 dan Rod Stewart selama kurang lebih seribu tahun terakhir – terus melakukannya. Dia juga enggan memperkuat persepsi tentang dirinya yang sempat dominan, yakni sebagai penyanyi balada yang sentimentil, kebalikan dari sosok John Lennon yang rocker mentah. “Saya sudah tak ambil pusing,” kata McCartney. “Jika orang-orang belum tahu sisi lain diri saya, berarti sudah terlambat.” Namun, Kissing adalah sebuah perkecualian. Seminggu sebelum album itu dirilis, McCartney sudah mengerjakan album rock yang baru. Sejauh ini, dia memainkan sendiri semua instrumennya: bas, gitar, keyboard dan drum yang dipersiapkan di Studio Two adalah miliknya semua. “Rencananya adalah melakukan apa yang saya lakukan sekarang, yaitu nyaris langsung mengerjakan album studio yang baru, jadi orang-orang tidak langsung menyimpulkan saya sudah selesai, saya sekarang ada di genre jazz.”
Hari ini, untuk album baru itu dia sedang merekam lagu berjudul “Hosannah” – sebuah balada akustik yang akan cocok masuk ke album solonya yang pertama, McCartney (dari 1970, album lain di mana dia memain-kan semuanya). Sementara dia memakai headphone dan mulai bekerja – dan menghasilkan suara bagaikan terompet dari bas Hofner tua berbentuk biola yang sudah terkenal itu, dan menghentakkan kaki mengikuti- irama – nyaris sulit untuk mendengarnya dengan semua kenangan yang ada di udara.
Tapi McCartney tidak menganggapnya demikian: Dia senang bekerja di sini, dan dia tidak merasa terbebani oleh masa lalunya. “Mengenai terbayang-bayang, itu sesuatu yang harus diikhlaskan,” katanya. “Saya sudah menerimanya. Saat menulis lagu, lagu-lagu saya yang lain membayang-bayanginya. Saya rasa begitu kita menulis lagu bagus, itu adalah kutukan. Selalu berpikir, ‘Sial, saya baru menulis “Eleanor Rigby”, bagaimana saya bisa membuat yang lebih baik?’ Saya rasa kita harus berpikir, ‘Tidak akan.’ Kita harus sadar bahwa kita tak mungkin membuat yang lebih baik, tapi malah menulis ‘Blackbird’. Kita coba ke jalan lain atau semacamnya. Jika kita beruntung. Sejak dulu saya sadar akan fenomena itu, tapi saya tak pernah membiarkannya menghalangi saya.”
McCartney cukup sadar diri untuk bisa memahami ironi lainnya: tak seperti artis pop dan rock lain yang merekam album-album pop klasik, dialah yang bertanggung jawab atas penyingkiran Great American Songbook (tentu saja dengan bantuan Lennon dan Bob Dylan). “Kami memperhatikan itu terjadi,” katanya. “Kami melihat orang-orang yang kami kagumi- berkata, ‘The Beatles merusaknya untuk kita,’ dan kami tak bermaksud melakukan itu. Kami hanya melakukan apa yang kami lakukan.”
“Kami tak ingin membasmi masa lalu, tapi itulah yang terjadi, sehingga orang-orang seperti Harold Arlen, yang kami sangat kagumi karena menulis lagu-lagu seperti ‘Somewhere Over the Rainbow’, kehilangan popularitas di saat kami menjadi populer, dan tak ada lagi permintaan untuk penulis lagu hebat seperti Leiber and Stoller, karena orang-orang mulai meniru kami dan menulis lagu sendiri. Jadi The Hollies dan The Rolling Stones mulai menulis dan berpikir, ‘Ide ini cukup keren.’ Jadi, ya, itu mengawali tren yang cenderung menyingkirkan beberapa orang kesukaan kami, dan itu disayangkan.”
Sehari setelah sesi rekamannya, McCartney kembali ke Studio Two, dan sedang duduk di atas kursi lipat di balik meja kayu kecil, di antara keyboard tua yang dibawanya. Dia sedang makan bagel dengan campuran hummus dan Marmite, sebuah saus asin buatan Inggris, dan kadang berbicara de-ngan mulut penuh, yang mungkin merupakan hak bagi seorang ksatria. Dia bersikeras agar saya mencoba hummus-nya – “Ini yang terbaik di dunia, sangat empuk” – dan mengoleskan sedikit di sudut piringnya: “Celupkan jarinya ke dalam itu dan coba, ayo!” Saya menaatinya, dan menyadari jari saya agar bergetar dalam perjalanan: itu hummus Beatles!
Belakangan ini McCartney banyak berpikir tentang pengaruh besar musik klasik pra-rock terhadap karya cipta lagu The Beatles – dia dan Lennon sudah berusia remaja sebelum pertama kali mendengar Elvis Presley, Little Richard, Chuck Berry dan Buddy Holly. “Kami tumbuh dengan menonton film-film Fred Astaire, dan itu agak tersingkirkan oleh rock & roll,” katanya, sambil menggigit bagelnya, “tapi pengaruh itu masih ada. The Rolling Stones terpengaruh oleh blues, dan kami terpengaruh oleh rock & roll – dan juga blues, dalam kadar tertentu – tapi juga, tanpa disadari, unsur melodi The Beatles, serta beberapa unsur struktural, berasal dari bagian belakang otak, yakni musik tua yang dinyanyikan orang tua kami.”
Jim, ayah McCartney, adalah pemain terompet jazz yang punya band di tahun 20-an. Dia juga seorang pianis amatir, dan kenangan awal Paul seputar musik termasuk berbaring di lantai dekat piano dan menyimak ayahnya memainkan lagu-lagu yang dinyanyikan Paul di album barunya. “Tidak ada rekaman ayah saya,” katanya. “Tapi kamera jiwa saya sudah merekamnya. Bagi saya dia sangat bagus, tapi dia takkan berpikir dirinya cukup baik untuk menjadi profesional. Orang-orang yang menyewa bandnya pun jelas tidak merasa mereka bagus, karena dia harus terus mengganti namanya agar diundang tampil.” Belakangan, ayahnya melobi agar The Beatles membawakan “I’ll Buy a Staircase to Paradise” – malah, mereka membuat lagu seperti “Your Mother Should Know” dan “When I’m Sixty-Four”. “Musik nenek,” menurut istilah Lennon – walau McCartney sigap menegaskan bahwa John suka lagu-lagu tua itu juga.
McCartney merekam Kisses on the Bottom bersama Tommy LiPuma, seorang produser standards-and-jazz senior yang mengajak pianis Diana Krall sebagai music director. McCartney sudah kenal dan menyukai Krall: Dia menghadiri pernikahannya dengan kolaborator lamanya, Elvis Costello, “di rumah Elton”. Mereka lebih banyak rekaman di Capitol Studios, Los Angeles – McCartney bernyanyi dengan mikrofon yang pernah dipakai Frank Sinatra dan Nat “King” Cole – dan di New York, McCartney bersikeras pergi ke studio pada hari Badai Irene seharusnya menerjang. “Yang absen dari banyak orang yang menafsirkan musik ini,” kata Krall, “adalah mereka hanya berpikir, 'Hei, kami hanya menyanyikan lagu-lagu standar,' dan itu tidak benar. Ini lebih berat dari itu. Paul menemukan kisahnya sendiri di dalamnya.”
“My Valentine”, salah satu lagu asli ciptaan McCartney, ditulis untuk Nancy Shevell, pengusaha cantik berusia 51 tahun yang dinikahinya Oktober lalu. Kalimat pembukanya – “What if it rained/We didn’t care” – berasal dari ucapan Shevell saat mereka berlibur ke Maroko. McCartney bergegas menuju piano tua di hotel mereka, tempat hampir seluruh lagu itu tercipta dalam seketika. Setelah dua pernikahan yang banyak disorot, McCartney enggan membicarakan yang ketiga – tapi dia mengaku itu telah membuat cara pandangnya lebih cerah.
“Memang, ya,” katanya, sambil mengangguk pelan-pelan. “Saya percaya pada cinta. The Beatles bernyanyi tentangnya; semua orang lain bernyanyi tentangnya. Mungkin Anda dan istri Anda mempercayainya. Ini adalah ide yang cukup populer! Jadi menemukan cinta setelah perceraian itu menyenangkan, sangat menyegarkan. Dan Nancy hebat, dia memikat, menarik, baik hati, cerdas, emosional dan segala yang kita inginkan dalam pasangan. Dia sungguh cantik. Dia kocak, pintar, hebat, semuanya ada.”
Reaksi Shevell terhadap lagu cinta terbaru McCartney agak halus. “Dia agak pemalu, jadi dia hanya menampakkan lesung pipi,” katanya. “Tapi saya tahu dia menyukainya. Dia tidak berlebihan – 'Dengar ini, ini lagu yang dia baru tulis untuk saya!' – tapi saya tahu dia menghargainya.”
Vokalis Coldplay Menyesal Memberi Judul Album 'Mylo Xyloto'
Pada awalnya, Chris dan personel Coldplay lainnya ingin nama album terbaru mereka terdiri dari dua kata dan kata tersebut tidak akan bisa dicari artinya, bahkan melalui situs Google sekalipun.
Sudah hampir lima bulan sejak dirilis pada tahun lalu, Chris Martin Cs mulai merasakan dampak memberi nama album mereka Mylo Xyloto.
“Itu hanya sesuatu yang kami pikir akan terlihat sangat baik, tetapi kemanapun kami pergi berkeliling dunia orang-orang mengucapkannya dengan cara yang paling gila dan kami mulai menyesalinya sekarang,” ujar Chris ketika diwawancarai oleh Good Morning America.
Vokalis yang juga lihai bermain piano tersebut, mengaku bahwa kata Mylo Xyloto tidak mempunyai arti apa-apa. “Hanya saja supaya merasa lebih segar untuk kami, ini baru. (Mylo Xyloto) tidak berarti apa pun kecuali hanya (nama album) musik,” imbuhnya.
“Kami memiliki nama tersebut (Mylo Xyloto) sebagai salah satu nama diantara banyak daftar kami selama dua tahun, untuk semua nama lain yang disarankan,(Mylo Xyloto) itu akhirnya menang,” tambah Chris.
Chris juga menceritakan bahwa mereka memilih nama Mylo Xyloto karena menurut mereka dua kata tersebut terlihat bagus memiliki dua huruf “O”.
Sabtu, 01 Januari 2011
Album Baru Foo Fighters Bakal Cadas dan Tanpa Lagu Balada
Ketika Foo Fighters tampil di konser rahasia di sebuah klub kecil di California, Amerika Serikat pada 21 Desember lalu, para personelnya juga sempat reuni kecil-kecilan dengan mantan personel Nirvana, pemain bass Krist Novoselic dan drummer Pat Smear.
Sementara di dalam album terbaru mereka nanti Foo Fighters juga tampil bersama Novoselic yang memainkan akordion dan bass di lagu “I should Have Known.” Tak hanya itu, album ini juga diproduseri oleh Butch Vig yang terakhir membantu Nirvana di tahun 1991. Meskipun album baru ini belum diberi judul resmi, namun di konser tersebut Dave Grohl berkata akan memberi judul abum ini sebagai Back+Forth. Judul itu diambil dari salah satu lagu mereka di album tersebut yang segera rilis di musim semi tahun 2011.
Pada sebuah wawancara dengan Rolling Stone yang mengambil tempat di studio rumahan milik Grohl, ia mengatakan “Saya merasa album ini memiliki banyak kesamaan dengan album Nirvana yang saya garap dua dekade lalu, seperti lagu ‘Lounge Act’ milik Nirvana.” Grohl menambahkan, “ Bahkan suara snare dalam album ini sangat mirip dengan Nevermind, Butch memang hebat dalam hal tersebut.”
“Kami memiliki tiga kriteria dalam album ini, hooky, heavy, dan analog seluruhnya,” jelas Butch Vig. Oleh karena itu, materi baru yang sedang digarap ini disebut sebagai materi paling "berat" yang pernah direkam Foo Fighters. Single pertama dari album tersebut “Three Days” memancarkan nuansa klasik khas Foo Fighters. Sedangkan lagu lainnya seperti “Burning Bridge" dan "White Limo," memang benar-benar cadas.
Grohl secara terus terang mengatakan album ini merupakan album yang non-balada. “Ketika saya dan band menuliskan reffrain untuk lagu-lagu di album ini, kami merasa harus memberikan sesuatu yang ‘berat’ dan menunjukan sisi kedewasaan kami karena memang kami sekarang sudah semakin tua,” jelas Grohl.20 Album Terbaik Indonesia 2010
Tahun 2010 adalah tahun yang menyenangkan bagi musik Indonesia, beberapa band lama mengalami rejuvenasi dan meninggalkan kesan mendalam di tahun ini melalui album-album terbaik mereka.
Yang terpenting, menurut kami yang berada di majalah Rolling Stone Indonesia, para artis-artis ini membawa harapan baru bagi perkembangan musik tanahair di tahun depan dan tentunya pantas mendapat perhatian lebih dari Anda semua. Selamat tahun baru 2011.
1. Bangkutaman
Ode Buat Kota Jangan Marah/Demajors
Selesai bersekolah di Yogyakarta, para personel Bangkutaman kembali ke kota asal, Jakarta, untuk bekerja dan hidup. Mereka berjumpa dengan masalah klasik kota besar: transportasi yang kalut, manusia individualistis, tingginya tingkat kejahatan, dan kondisi sosial yang membuat galau. Bukan perjumpaan asal lewat, namun perjumpaan rutin yang mendatangkan gelisah. Dan kalau pun mereka mengeluh, paling tidak ada sesuatu yang terbit darinya. Berbagai tangkapan cermat yang tersebar di 10 lagu dalam Ode Buat Kota menunjukkan pergaulan urban yang jujur di belahan-belahan Jakarta yang tak kebagian waktu untuk bersolek. Secara musik, Bangkutaman yang pernah sangat identik dengan The Stone Roses kini lebih banyak meminjam gaya khas Lou Reed, Bob Dylan, sampai The Mamas & The Papas, menampilkan sound yang cenderung kasar dengan melodi legit. Ode Buat Kota adalah catatan yang gamblang, bernas, sekaligus penuh perasaan tentang Jakarta.
2. The Flowers
Still Alive and Well Demajors
Salah satu dedengkot rock & roll ibu kota kembali dari tidur panjang dan membuat album kedua yang mengagumkan. Masih setia memainkan rock & roll dengan pengaruh The Rolling Stones dan The Black Crowes, tapi kali ini kental dengan nuansa funk, dan sedikit sentuhan jazz—terutama karena kehadiran pemain saksofon Eugene Bounty yang membius dan tak sekadar jadi instrumen tambahan di antara raungan gitar Boris Simanjuntak dan paraunya vokal Zaid Barmansyah alias Njet yang liar. Tak sia-sia mereka menamakan judul albumnya Still Alive and Well, karena album ini membuktikan bahwa The Flowers masih hidup dan baik-baik saja. Salah satu lagu yang akan bersejarah dan menjadi klasik adalah “Rajawali.”
3. Bonita
Laju Rumah Bonita/Demajors
Tujuh tahun penantian Bonita terhadap sebuah album dibayar kontan melalui Laju. Biduan yang dulunya kental terpengaruh unsur R&B atau soul kini mulai bereksplorasi ke ranah musik baru, beberapa lagu seperti “Komidi Putar” atau “Rumahku” menyajikan empuknya suara Bonita yang terpengaruh folk. Bonita mumpuni menyikat groove Motown di beberapa tembang lainnya hingga membuat album ini jadi petualangan musikal yang menyenangkan. Berbagai dialek musikal dibahasakan, berbagai emosi dinyanyikan, berbagai aroma ditawarkan, membuat Laju menjadi rilisan terbaik sepanjang karier Bonita.
4. Sarasvati
Story of Peter Self Released
Ini adalah proyek solo dari mantan vokalis Homogenic, Risa Saraswati. Musik elektronik yang mengawang-awang dengan suasana mencekam terdengar dominan di album ini. Di “Bilur”, dia berhasil menggabungkan sentuhan musik tradisional (suling Sunda dengan nyanyian sinden) dengan musik modern yang menghasilkan aura mencekam tetapi indah. Tak hanya itu, Risa membawakan kembali lagu “Perjalanan” karya Franky Sahilatua dengan penghayatan yang baik sehingga memberi warna baru yang sesuai dengan karakter Risa. Secara keseluruhan, Sarasvati memberikan album yang mencekam sekaligus terdengar sexy.
5. White Shoes & The Couples Company
Album Vakansi Purapura Records/Demajors
Sejak album debut White Shoes & The Couples Company dirilis di tahun 2006, grup indie pop ini telah membawa mereka ke mancanegara. Berkat pengalaman tersebut mereks terdengar lebih dewasa dan mendunia pada Album Vakansi. Pengaruh funk dan Afrobeat masing-masing menyusup pada “Senja Menggila” dan “Matahari”, di samping pop Indonesia klasik ala White Shoes pada “Masa Remadja” dan “Kisah Dari Selatan Jakarta”. Sesuai judulnya, mendengar Album Vakansi membuat lebih segar bagaikan pergi liburan.
6. Kelelawar Malam
Kelelawar Malam Jenggo Records/Demajors
Mereka adalah yang terbaik bila bicara tentang penggabungan antara tema horror lokal dengan musik punk. Seperti The Misfits dengan vokalis berwibawa ala Iwan Fals, Kelelawar Malam menawarkan nomor-nomor antemik dengan konten lokal yang tinggi. “Malam Terkutuk” atau juga “Bangkit dari Kubur” merupakan sedikit contoh kreativitas tinggi dalam memberi penghormatan kepada pocong, kuntilanak, zombie, maupun ratu laut selatan. Semua dilakukan dengan seni yang estetis, serius tanpa bercanda, lagi elegan. Salah satu penghormatan terbaik dalam sepanjang sejarah musik Indonesia.
7. Monita Tahalea
Dream, Hope & Faith Inline Music
Monita Angelica Maharani Tahalea, sang gadis muda nan cantik itu, membuktikan telak bahwa sempat berkiprah di kompetisi bernyanyi Indonesian Idol bukan berarti kariernya harus menjadi tipe penyanyi a la Indonesian Idol juga. Dream, Hope & Faith adalah bukti langkahnya yang tepat bekerja sama dengan Indra Lesmana sebagai produser yang akhirnya berhasil total mengeluarkan potensinya sebagai penyanyi jazz yang andal. Terpengaruh Norah Jones, dan juga menggemari Ella Fitzgerald membuat album perdananya terasa tenang, easy listening, tapi masih memiliki sensibilitas pop tinggi hingga masih kuat di daya hibur.
8. Sandhy Sondoro
Sandhy Sondoro Sony Music
Album perdananya Why Don’t We yang dirilis di Jerman tahun 2008 menjadi jawaban penantian album penuh Sandhy Sondoro yang banyak dinantikan penggemarnya. Album berisi 12 lagu tersebut dirilis dengan tambahan 2 lagu baru, ”Bunga Mimpi” dan ”Salamanja”. Keunikan Sandy ada pada penghayatan lagu. Sandy berhasil memberikan nyawa dari setiap lagu yang dia bawakan. Simak ”Down On The Street” yang menjadi salah satu anthem klasiknya. Untuk lagu “Bunga Mimpi” dan “Salamanja”, dirinya membawa aroma soul dengan liukan khas karakter vokalnya itu. Sandhy Sondoro adalah paket lengkap seorang singer/songwriter masa kini.
9. Frau
Starlit Carousel Cakrawala Records/Demajors
Hanya butuh seorang Lani yang berusia 20 tahun dan sebuah piano untuk menelurkan album perdana yang mampu menggetarkan jiwa. Nyanyian bening, dan lirik dibawakan dengan penuh penjiwaan mengingatkan kita pada Tori Amos atau Regina Spektor. Permainan piano menyerempet klasik pun ada di beberapa bagian namun masih bersahabat bagi telinga pop. Judul seperti “Mesin Penenun Hujan” pun menambah nilai unik. Setelah Endah N Rhesa menggegar publik musik dengan konsep minimalis berdua dan akustik, kini saatnya Indonesia digenggam oleh Frau.
10. /rif
7 Sony Music Indonesia
Hard rockers pemuja celana kulit dan sepatu New Rock menjawab kekecewaan atas album sebelumnya, Pil Malu, yang membuat malu. Di album ini, mereka tak bereksperimen terlalu luas, kembali pada karakter awalnya: hard rock dengan riff menggempur tapi punya sentuhan pop kental dipadu dengan lenguhan vokal Andy yang sudah menjadi ciri khas tersendiri di industri musik Indonesia. Justru di lagu-lagu seperti itulah /rif berjaya. Lagu jagoan mereka, “Fight”, adalah salah satu lagu yang pa-ling menonjol di album ini, dan membuktikan bahwa perjuangan mereka meyakinkan perusahaan rekaman untuk merilis album ini tak sia-sia.
11. Leonardo
The Sun Buttonijo/Demajors
Sempat bersama Vessel di tahun ’90-an dan Zeke and the Popo di tahun 2000-an, juga proyek eksperimental dengan nama Ruang Hampa, akhirnya singer/songwriter ini merilis album solo perdananya. Kekuatan terbesar Leo terletak pada suaranya, menempatkan dirinya pada tipe penyanyi seperti Tom Waits atau Richard Hawley. Lagu-lagu di The Sun kebanyakan terdengar laid-back, bersuasana intim berkat dominannya gitar akustik, sempurna untuk vokal Leo yang berat sekaligus empuk, dan punya jangkauan yang lebar. Album cemerlang ini juga didukung oleh banyak musisi andal, termasuk Hendra Perdana (Anda) yang berhasil dalam perannya sebagai produser.
12. Andien
Kirana Platinum
Sepuluh lagu di album Kirana berisi penjelajahan Andien dalam konsep bermusik yang renyah dan mengalir. Di album ini Andien membawakan tafsir ulang ”Gemilang” dan ”Keraguan” yang pernah dipopulerkan Krakatau. Adaptasi yang luas dan membuat kedua lagu yang sudah telanjur kuat itu bisa tampil segar dengan penghayatan yang dibawakanya. Album in dibuka dengan lantunan irama enerjik lagu berjudul “Moving On” yang juga menjadi single. Duet produser Nikita Dompas dan Rifka Rachman berhasil melahirkan Andien dengan konsep album yang lebih lebar dibandingkan album-albumnya sebelumnya.
13. Maliq & D’Essentials
The Beginning od a Beautiful Life Organic Records/Warner Music Indonesia
Pada albumnya yang keempat, kereta Maliq & D’essentials terus melaju tanpa tanda-tanda berhenti. Band ini sudah menjadi jaminan mutu dalam menghibur, ini yang mereka tawarkan di The Beginning of a Beautiful Life lewat “Terlalu” dan “Get Down & Slide”. Walau jumlah lagu per album tak sebanyak dulu, mereka masih menemukan tempat untuk mencoba hal-hal baru, seperti “Menari” atau “Berbeda” yang beralih dari melankolis ke riang dan balik lagi. The Beginning of a Beautiful Life adalah lanjutan dari karier yang indah.
14. BIP
Berangkat Fame Music
Lama asyik dengan proyek masing-masing, pemain bas Bongky, pemain keyboard Indra Q, vokalis Ipang, dan gitaris Pay Burman kembali membuat musik untuk kelompok mereka. Hanya enam lagu di album ini, tapi semuanya kuat. Secara aransemen, vokal Ipang terdengar lebih melebur jika dibandingkan dengan ketika dia baru bergabung dengan BIP. Pilihan sound-nya lebih pas dengan vokal Ipang. Meskipun Indra Q mengumbar pengaruh sound ’80-an, musik di album ini masih terdengar kekinian. Ada lagu humoris di “Mane-Mane Boleh”, romantis di “Seluk Beluk Hatimu” hingga sindiran pada rock star di “Fenomenal.”
15. Slank
Jurustandur No. 18 Slank Records
Ini adalah album ke-18 Slank yang digarap karena mereka terlalu lama terjegal perizinan manggung. Meskipun drummer Bimbim yang menulis sebagian besar lagu di album ini, tapi kawan-kawannya yang lain berhasil menerjemahkan setiap lagu dengan baik sehingga di antara manisnya lagu-lagu pop bertema cinta (“Menyakitimu” dan “Lagi”) masih terselip lagu rock & roll dengan lirik kritis (“Bobrokisasi Borokisme” dan “Merdeka”) seperti harapan banyak orang pada Slank. Pilihan Kaka duet dengan Fahrani di lagu “Kukejar dan Kutangkap Kau (KKK)”, tak membuat malu. Album ini bukti Slank mampu menyalurkan energi yang terpendam dengan baik.
16. Gugun Blues Shelter
Gugun Blues Shelter BugsPro
Album terakhir Gugun Blues Shelter ini terlahir berkat konflik berkepanjangan dengan label rekaman mereka terdahulu. Seharusnya ada album sebelum ini yang sayangnya batal dirilis. Dengan produksi yang hanya memakan waktu sebulan, album yang direkam semi live ini berhasil mengemas blues rock a la Led Zeppelin, Stevie Ray Vaughan, Jimi Hendrix ke dalam format paling menarik di dekade 2000 an dan yang terpenting, “Original!” Simak lagu “Fight For Freedom,” power-ballad “When I See You Again” dan nomor balas dendam nan progresif dalam “White Dog” untuk membuktikan bahwa Gugun Blues Shelter adalah the real deal!
17. Jogja Istimewa 2010
Album Kompilasi Demajors
Album kompilasi ini rilis hampir berbarengan dengan situasi memanas antara Istana Merdeka versus Istana Yogyakarta. Bahkan lagu-lagunya de-ngan brilian menjadi soundtrack unjuk rasa warga Yogyakarta. 10 artis indie lintasaliran yang lolos kurasi ketat tampil mewakili scene musik terkini daerah istimewa ini. Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) dengan nomor rap Jawa eksotik “Jogja Istimewa,” denting piano dan vokal membius Frau di nomor “Confidential,” gemuruh metal matematika dari Cranial Incisored hingga dendang musik dub nan menawan “Endless Night” dari Dub Youth. Semuanya menegaskan bahwa Jogja memang Istimewa!
18. Iwan Fals
Keseimbangan Fals Records
Album terbaru dari materi-materi lama yang selama ini sebagian sudah kerap dibawakan di atas panggung. Judul Keseimbangan adalah estafet dari album 50:50. Di Keseimbangan, Iwan Fals jadi musisi yang tak terikat label. Rata-rata lirik yang termuat mengakar pada tema kecintaan pada alam, Tuhan, dan manusia. Satu yang cukup menarik ialah lirik yang ditulis oleh KH Mustafa Bisri atau Gus Mus di lagu ”Aku Menyayangimu”, yang mengandung makna mendalam. Tidak ada yang sangat istimewa dalam sisi musik Iwan Fals di album ini. Semuanya bermain aman dan teratur. Namun dari sisi lirik, harus diakui penuh makna mendalam.
19. Endah N Rhesa
Look What We’ve Found REIProject/Demajors
Di album kedua, Endah N Rhesa terdengar lebih tahu apa yang mereka mau. Jika di album pertama warna lagu-lagunya terdengar hampir belang, di album ini benang merah dari sisi musikal lebih te-rasa—permainan rhythm guitar Endah lebih diumbar. Kisah soal suku di sebuah pulau akhirnya senada dengan atmosfer lagu yang banyak terpengaruh suasana tribal. Di “Midnight Sun”, ada musik yang iramanya seperti mengajak berlari. Lantas ada “Kou Kou The Fisherman” yang energik dan menghentak dalam caranya sendiri. Ada pula “It’s Gone” yang terdengar pilu. Secara keseluruhan, ini sebuah sekuel yang menarik.
20. Siksakubur
Tentara Merah Darah Fast Youth Records
Salah satu aksi death metal terbaik milik bangsa ini menjadi kian hebat dengan album kelima yang eksploratif. Tentara Merah Darah adalah sebuah konsep album di mana Siksakubur memuntahkan metal teknikal dan rapat, dengan ketukan hyperblast yang brutal sembari meneriakkan lirik lagu demi lagu karena terinspirasi novel, yang akhirnya diangkat ke layar lebar, berjudul 300. Pengaruh band Eropa seperti Behemoth dan juga Decapitated menghias di sana-sini. Tema atheisme atau satanisme bisa jadi sudah usang. Siksakubur membuktikannya, membahas cerita rakyat adalah prestasi.
Albums of The Year
1. Kanye West
My Beautiful Dark Twisted Fantasy Roc-A-Fella/Def Jam
Pada My Beautiful Dark Twisted Fantasy, Kanye West membuat musik yang tak kalah berantakan dengan hidupnya. Di sela-sela perseteruan dengan Matt Lauer atau mengomel di Twitter, Kanye membangun hip-hop yang epik, lagu-lagu yang penuh dengan aksi megah yang hanya dilakukan orang nekat dan hanya berhasil dilakukan orang-orang yang bakatnya luar biasa. Semakin banyak unsur yang dimasukkan – string section, solo piano Elton John, ocehan vocoder, cameo Bon Iver, sample King Crimson dan Rick James – semakin bagus pula musiknya. Lirik Kanye belum pernah sekocak ini (“Have you ever had sex with a pharoah?/I put the pussy in a sarcophagus”) atau lebih bijak mengenai kebiasaannya yang merusak hubungan. Lewat “Power” yang mengusung prog rock, kemegahan angker “Runaway” dan “Hell of a Life” yang terus berubah, dia membuat semua musik lain terasa lebih dangkal dan tumpul. Apakah album ini dark? Pasti. Twisted? Tentu saja. Namun yang paling penting, album ini indah.
2. The Black Keys
Brothers Nonesuch
Inilah album terbaik duo ini: lagu-lagu kuat yang minimalis dan mentah, dengan sentuhan warna dan hook yang panas. “Howlin’ for You” memadukan blues dengan irama glam yang diambil dari “Rock and Roll Part 2”-nya Gary Glitter, sedangkan lagu hit patah hati “Never Gonna Give You Up” milik Jerry Butler menonjolkan sosok Dan Auerbach sebagai penyanyi soul bersuara falsetto. Inilah minimalisme rock yang dipacu secara maksimal.
3. Elton John and Leon Russell
The Union Decca
Dua raksasa rock, salah satunya nyaris terlupakan, menjalin kembali persahabatan dan membuat musik yang layak disejajarkan dengan karya terbaik mereka. Produser T Bone Burnett menghasilkan produksinya yang paling spektakuler dalam beberapa tahun terakhir, penuh dengan steel guitar gemerlap, brass section riang dan paduan suara gospel. Namun pada akhirnya adalah suara Russell yang paling bersinar, dengan menuangkan seluruh sejarah musik populer Amerika ke dalam lantunannya yang bijak dan rapuh.
4. Arcade Fire
The Suburbs Merge
Arcade Fire tidak melakukan apa-apa dengan skala kecil – maka kolektif asal Montreal ini membuat album orchestral rock megah yang bercerita tentang perang batin manusia di tengah-tengah rumah besar dan halaman rapi. The Suburbs adalah album mereka yang paling berani sejauh ini: Simak string section yang gila pada “Empty Room”, energi Crazy Horse pada “Month of May”, synth-pop disco pada “Sprawl II (Mountains Beyond Mountains)”. Pasangan suami-istri Win Butler dan Regine Chassagne bernyanyi tentang kebosanan di pinggir kota, rasa takut akan perubahan dan keinginan punya anak – dan selalu menyuarakan pengakuan yang paling intim secara menggelegar dan menemukan keindahan di mana saja.
5. Jamey Johnson
The Guitar Song Mercury
Apa yang disimpan Jamey Johnson di balik rambut lebatnya? Lagu-lagu. Bintang Nashville yang paling keras ternyata merupakan musisi tradisional yang paling dapat diandalkan, seorang profesional ala Music Row yang dapat menulis lagu untuk semua emosi. Johnson menciptakan banyak lagu – 25, dengan durasi melebihi 105 menit – untuk album keempatnya yang berisi 2 CD: curahan hati pada akustik dan boogie blues keras, lagu-lagu sentimental dan angker, lagu orang dan lagu lucu-lucuan, serta “California Riots” dan “Playing the Part”, sepasang lagu kocak dari orang udik yang menghujat orang-orang liberal.
6. Vampire Weekend
Contra XL
Contra adalah album di mana Vampire Weekend menyadari mereka bisa melakukan apa saja: lagu-lagu indah yang pelan dan dubby, pseudo punk bising, riff gitar Afrika, lantunan paduan suara, lagu-lagu dengan rima “horchata”, “Aranciata” dan “Masada”. Ezra Koenig menulis lirik rumit tentang cinta muda dan ketegangan Dunia Ketiga, namun sedalam apa pun renung-annya, kekuatan melodiusnya tak pernah hilang: Jarang ada lagu dengan produksi semewah ini yang terasa begitu enteng atau berlalu dengan cepat. Saat kita mengagumi balada “I Think UR a Contra” atau “Your sword’s grown old and rusty/Burnt beneath the rising sun” (dari “Giving Up the Gun”) menempel di kepala, kita sadar bahwa kenikmatan tak kalah penting bagi orang-orang ini.
7. Drake
Thank Me Later Cash Money/Universal
Setelah tiga tahun mengeluarkan mixtape, menjadi bintang tamu dan gembar-gembor tanpa henti, album perdana mantan aktor yang menjadi rapper asal Kanada ini memenuhi ekspektasi dengan beat lezat, rap rapi dan introspeksi yang dalam. Gaya mengoceh Drake yang santai dan soulful menambah sisi ironi pada renungannya tentang kehidupan pesta pora. Dialah bintang terkemuka di dunia hip-hop pasca-Kanye yang tersiksa: seseorang yang tidak bisa memutuskan apakah “I’ve been up for four days gettin’ money” adalah sesumbar atau beban.
8. Robert Plant
Band of Joy Rounder
Silakan terus menunggu, Jimmy Page – dia takkan kembali. Setelah mengeluarkan Raising Sand (2007) yang mengusung musik roots, Plant mengeluarkan album yang lebih berani dan kental roots Plant dan bandleader-nya, gitaris Buddy Miller, mengolah lagu-lagu kuno dan tema modern dengan eksplorasi psychedelic terhadap blues dan country dan membawakan lagu-lagu Los Lobos, Townes Van Zandt, band slow-core Low dan gospel seolah-olah semuanya adalah persinggahan dalam jalan menuju nirwana.
9. Eminem
Recovery Aftermath/Interscope
Eminem berceloteh “Let’s be honest, that last Relapse CD was ehhh” pada Recovery, yang mengambil posisi victory lap pasca-rehabi-litasi yang seharusnya ditempati Relapse yang kekanak-kanakan. Dengan mendominasi radio, Eminem kembali ke puncak di tahun 2010, namun dia juga lebih tua dan bijak: seorang ayah ketakutan yang berhasil lolos dari maut dan kembali dengan kemampuan utuh. Saat dia berjanji tetap bersih pada “Not Afraid”, kita tahu dia serius.
10. LCD Soundsystem
This Is Happening DFA/Virgin
James Murphy mengerahkan pasukan punk funk asal New York-nya untuk album putus cinta yang berat, dan menggali keluar dari runtuhan emosional dengan bantuan keyboard gemilang Nancy Whang dan pukulan drum dahsyat Pat Mahoney. Murphy bersaksi tentang cinta dewasa yang kandas (“I Can Change”) diiringi berbagai jenis musik electronic dance, sementara lagu lucu “Drunk Girls” menawarkan semboyan bagi kekasih bebas di mana pun berada: “I believe in waking up together.”
11. The Dead Weather
Sea of Cowards Warner Bros./Third Man
Ini bisa dibilang lebih menyerupai serangkaian kejang metallic blues daripada album – dan rock ekstrim yang paling menyenangkan tahun ini. Jack White duduk di belakang kali ini – sebagai drummer-vokalis – namun dia tetap memimpin: Pukulannya a la Bonham memacu gitar yang berliuk-liuk serta nyanyian Gothic oleh Alison Mosshart.
12. John Mellencamp
No Better Than This Rounder
Idealisme folk blues – yang direkam pada tape machine mono di tempat-tempat seperti gereja di Georgia dan Sun Studios – dengan amarah modern terhadap dunia setelah krisis finansial. Saat Mellencamp menyanyikan “A Graceful Fall”, dia memancarkan kebanggaan dan amarah bagaikan laporan bisnis semalam.
13. Taylor Swift
Speak Now Big Machine
Speak Now membuktikan bahwa Swift tak sekadar penyanyi country terbesar di dunia – di usia 21 tahun, dia adalah pabrik lagu dengan jiwa rock & roll. Ada lagu-lagu tentang kekasih selebriti, namun yang paling penting adalah penguasaannya terhadap balada lembut seperti “Enchanted” atau lagu rock ala Phil Spector seperti “Long Live”.
14. Robyn
Body Talk Cherrytree/Interscope
Body Talk berawal sebagai dua album mini adiktif; begitu album penuhnya keluar, rasanya seperti album greatest hits. Beat dan lagu sang diva Swedia ini mengalahkan para pesaingnya dari Amerika. Begitu juga selera humornya: Simaklah “Fembot” dan “Don’t Fucking Tell Me What to Do” yang diam-diam mengharukan.
15. The National
High Violet 4AD
Band rock pemurung asal Brooklyn ini bisa saja mengulangi formula album Boxer yang mengangkat nama mereka di tahun 2007, namun Violet lebih berani dan cerdas, dibuka dengan permainan gitar puitis dan jiwa eksperimen ala The Beatles. Matt Berninger menyanyikan “Bloodbuzz Ohio” bagaikan pengunjung bar yang merasa kita tidak bisa melihat rasa takutnya.
16. Kid Rock
Born Free Atlantic
Mr. Bawitdaba akhirnya membuat album Bob Seger impiannya. Album bernuansa classic rock yang diproduseri Rick Rubin ini seperti mendengar radio di Detroit tahun 1975: Dengan lagu-lagu anthem, country rock dan boogie, Rock menunjukkan variasi – dan kedalaman – yang tak terlihat di masa mudanya.
17. Beach House
Teen Dream Sub Pop
Vokal seksi Victoria Legrand terasa mengawang dan androgini, seperti curhatan teler di malam hari dan masih belum jelas kita akan tidur di mana. Beach House mempertajam sound dan hook di album ketiga ini – dan secara mengejutkan itu ternyata membuat musik mereka semakin misterius dan magis.
18. Kings of Leon
Come Around Sundown RCA
Album arena rock terbaik tahun ini. Doo-wop udik pada “Mary” dan country ala U2 pada “Back Down South” menggambarkan Kings of Leon pada titik tengah sempurna antara pop murni dan musik tradisional. Dan “The End”, lagu pertama Sundown, terdengar seperti awal yang baru.
19. M.I.A.
Maya N.E.E.T./Interscope/XL
Hujatan terhadap ulah-ulah M.I.A. – video “Born Free” yang eksplisit dan perseteruannya dengan New York Times – membuat orang-orang lupa bahwa provokasi terbesarnya di tahun 2010 terdapat dalam musiknya. Kebisingan art punk dan electro beat di album Maya menciptakan musik protes yang paling tajam belakangan ini.
20. Neil Young
Le Noise Reprise
Bergejolak, terdistorsi – dan salah satu album Young yang paling intim. Le Noise kebanyakan berisi gitar elektrik solo yang tajam, namun bahkan saat Young bermain akustik di “Love and War”, tekad yang dijalani seumur hidupnya – “There’ve been songs about love/I sang songs about war/Since the back streets of Toronto” – masih cukup keras.