Selasa, 30 November 2010

Jogja Hip Hop Foundation Merilis Film Dokumenter Berjudul Hip Hop Diningrat

Hip Hop Diningrat berisi sejarah dan eksistensi musik Hip Hop Jawa yang dibuat langsung oleh pelakunya.

Tahun ini genap tujuh tahun grup musik Jogja Hip Hop Foundation berkarier di dunia musik. Grup yang dimotori oleh Marzuki “Kill The DJ” Mohammad ini dikenal karena ciri khasnya yang kuat pada penggunaan bahasa Jawa pada lirik-liriknya. Tak hanya masalah lirik, grup yang juga masuk dalam kompilasi Album Jogja Istimewa ini dikenal berkat keberhasilannya menggabungkan kebudayaan lokal dengan hip hop. Perjalanan tujuh tahun grup ini dan musik Hip hop Jawa secara keseluruhan kemudian mereka kemas menjadi sebuah film dokumenter berjudul Hip Hop Diningrat.
“Pada dasarnya Hip Hop Diningrat itu kan plesetan kata dari Ngayogyokarto Hadiningrat. Ningrat artinya bangsawan, Diningrat artinya di kerajaan, kami kan tumbuh dan besar di daerah Kraton Yogyakarta,” jelas Marzuki yang bertindak sebagai produser sekaligus sutradara film ini bersama Chandra Hutagaol. Film ini dibuat dengan merangkai lebih dari 300 kaset hasil dokumentasi grup ini semenjak tahun 2003 sampai 2009 lalu. “Untuk merangkai 300-an kaset video itu, kami perlu bikin shooting interview, tujuannya untuk merangkai serakan-serakan dokumentasi yang ada. Prosesnya sendiri memakan waktu satu setengah tahun, sampai kita hampir putus asa,” paparnya.
Film yang tayang perdana di event Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2010 ini menurut menurut Marzuki menyoroti sejarah hip hop Jawa, lengkap dengan perjuangan eksistensinya, juga tentang mimpi dan nilai-nilai anak muda Jawa. Dalam katalog resmi Jiffest 2010 film ini dideskripsikan dengan, “Sebuah cerita unik tentang kultur hip hop dari kota Jogja, di mana kebudayaan urban bertemu dengan tradisi Jawa untuk menciptakan produk kesenian kontemporer”. “Sebenarnya kami tidak mempunyai tendensi untuk jadi kontemporer. Tapi banyak orang menyebutnya demikian. Kami hanya mencintai tradisi kami,” tutur Marzuki mengenai stempel kontemporer pada film ini.
Dengan dibuatnya film Hip Hop Diningrat semakin meneguhkan posisi Jogja Hip Hop Foundation dalam memadukan nilai tradisi Jawa dengan hip hop. Meski telah sukses meramu kedua unsur tersebut, Marzuki tetap menekankan bahwa pilihan mereka untuk memainkan hip hop Jawa bukanlah semangat primordial. Melainkan usaha untuk mengenal diri sendiri. “Ketika kita paham siapa diri kita, pertemuan dengan yang lain akan semakin mutualis,” tuturnya.
Setelah Jiffest, film berdurasi 65 menit ini rencananya akan diputar di Festival Film Dokumenter yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember. Sementara untuk world premiere, film ini akan diputar di New York dan Canberra. Hip Hop Diningrat akan menjadi catatan penting bagi perkembangan sejarah musik hip hop di Yogyakarta. “Sejak ada hip hop Jawa hingga sekarang musik hip hop di Jogja belum pernah sepi, di kota-kota lain hip hop sempat mati suri,” tutup Marzuki.

James LoMenzo: Megadeth adalah Bisnis yang Serius

James Lomenzo, mantan pemain bas White Lion yang awal tahun ini juga berstatus mantan pemain bas Megadeth, pada Jumat (26/11) malam memasuki sebuah ruangan di mana kami telah menunggunya.

Sebuah bas Yamaha BB Custom abu-abu tua mengilap dan tampak sangat terawat yang ia bawa diletakkannya pada salah satu sisi ruangan. Kemudian ia terlihat bertanya pada seseorang yang mengantarnya. Orang yang ditanya menjawab dalam volume yang rendah. “O, Rolling Stone magazine! I love Rolling Stone magazine,seru Lomenzo dan sejurus kemudian menghampiri kami.

Dengan tangkas dan jauh dari kesan canggung kini Lomenzo sudah meneliti kamera di tangan fotografer saya. “Kamera apa ini? Sepertinya ini bagus,” gumam pemain bas yang berkontribusi pada album studio United Abominations (2007) dan Endgame (2010) serta tampil pada DVD Blood in the Water: Live in San Diego (2010) Megadeth itu—tentu saja dalam bahasa Inggris.

Tidak tampak kelelahan di raut wajah Lomenzo meski kenyataannya ia sedang berada di tengah tur lima negara dalam rangka Yamaha Bass Clinic 2010. Indonesia adalah negara terakhir yang ia kunjungi. Dan Jakarta adalah kota kedua yang ia sambangi setelah sehari sebelumnya sempat memberikan klinik di Surabaya. Bandung menjadi kota terakhir di Indonesia yang ia singgahi sebelum kembali pulang ke negara asalnya.

Anda menyukai tur seperti ini?
This is fine, man. Pada dasarnya saya suka untuk melihat dunia. Dan kalau diingat-ingat lagi ke era 80an, saat saya masih bersama White Lion, saya tidak terlalu menyukai hal seperti ini. Karena saat itu kami sangat sibuk dengan kesuksesan yang cepat datang, sehingga kami tidak sempat melihat apapun. Saat kami di Paris, saya sangat ingin melihat Menara Eiffel tapi tidak mempunyai waktu. Wawancara, konser, wawancara lagi, kembali ke hotel dan besoknya sudah harus pergi. Tapi saat itu mereka melakukan satu kesalahan dengan memberikan banyak sekali sampanye ke kamar kami. Jadi malam itu kami meminum cukup banyak sampanye. Dan kami pun akhirnya pergi ke Menara Eiffel dengan mobil sewaan sambil menyanyikan "Aloutte."

Seperti apa tepatnya perasaan Anda pernah berada di dalam sebuah band rock besar?
Biasa saja. Serius. Karena saat saya berumur 19 atau 20 tahun, saya main musik bersama seorang pemain drum bernama Bobby Rondinelli, yang pernah bermain di band-nya Ritchie Blackmore, Rainbow. Dan kemudian dia (Bobby) mengajak saya tampil di Ritchie Blackmore's Night pada akhir pekan dalam formasi band trio. Saya bernyanyi sembari main bas. Saya terlempar ke situasi itu, unjuk gigi dengan memainkan lagu-lagu Deep Purple, Jimi Hendrix… Itu adalah terakhir kalinya saya merasa takut. Karena setelah saya selesai, Ritchie Blackmore berbicara di dekat telinga saya: "Kamu hebat, kamu cukup bagus." Itu memberikan saya rasa percaya diri yang banyak. Jadi kalau Anda sudah memulai dari sana, Anda akan merasa sama saja seperti yang lainnya. Dan saat saya bergabung dengan White Lion itu bukan karena mereka terkenal. Malahan saat itu mereka masih berjuang dan menjadi band klab.

Tidak ada perasaan bangga saat bergabung?
Saya bangga pernah menjadi bagian di semua band yang saya masuki. Ketika White Lion tidak populer lagi, karena era 80an terlalu dekat ke era 90an, yang saya katakan kepada semua personil adalah, “Jangan membicarakan White Lion terus-terusan. Because we’re heavy band!” Dan ketika kami mulai merasa bahwa itu agak aneh, saya mengerti dengan persepsi yang ada di kepala saya, “kami telah menjual tiga juta kopi album. Tidak ada sesuatu yang semestinya dianggap memalukan.” Saya bangga dengan White Lion.

Apakah Anda sudah bertemu Mike Tramp di sini?
Dia seharusnya datang hari ini. Saya sudah berbicara dengannya tiga minggu yang lalu. Dia bilang, istrinya punya urusan yang harus dikerjakan. Saya sendiri adalah orang yang hidup untuk mendukung istri. Jadi saya memaklumi kalau dia tidak bisa datang hari ini.

Rencana reuni dengan Mike dan White Lion?
Tidak ada masalah dengan reuni. Saya sekarang punya waktu dan ini sepertinya waktu yang bagus… [bergumam] Dia tidak akan melakukannya.

Kenapa?
Itu adalah pertanyaan terbesar. [menyeringai] I think he the ones who maintain his own legend, keep his legend, make his legend. Not come back. Just go away. Saya tahu dulu Mike bertahun-tahun mencoba mengajak Vitto kembali bergabung, dan dia juga mengajak saya, tapi saat itu saya sedang sibuk dengan Black Label Society. Saya tentu saja akan senang jika bergabung lagi dengan White Lion dan Michael. Mungkin kami bisa melakukannya dengan mencari gitaris baru, memainkan beberapa lagu dan melihat apa yang terbaik yang bisa kami lakukan.

Anda sekarang bergabung dengan band apa?
Saya main dengan Geoge Lynch sejak keluar dari Megadeth. Dia adalah seorang pemain gitar yang hebat.

Lynch Mob?
Iya, Lynch Mob. Terdengar buruk memang. Di Amerika itu memiliki arti yang sangat buruk. Nama itu dari penggantungan orang-orang kulit hitam di Selatan. Tapi sebenarnya Lynch adalah dari nama George Lynch. Hanya permainan kata-kata. Kami tidak rasis atau sejenisnya. Tapi itu sesuatu yang membuat saya tertawa, Lynch Mob.

Lynch Mob bukan band mainstream, bagaimana cara Anda mengatasi perubahan yang terjadi dalam hidup Anda?
Megadeth adalah bisnis yang serius. Saya pikir bahkan para penggemarnya pun mengerti hal itu. Begitu juga Metallica. Semuanya adalah mengenai bekerja, persiapan dan merengkuh penggemar sebanyak mungkin. It’s a full-time job. Wajib bangun di pagi hari, Anda hidup dengan cara seperti itu. Dan itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan oleh band seperti mereka. Karena fanbase mereka sungguh setia. Menjaga fanbase adalah menjaga bisnis tetap berjalan. Saat saya ada di Megadeth, begitu banyak pekerjaan untuk saya. Saya bukan orang pemalas, tapi pada saat yang sama saya juga suka bersenang-senang. Megadeth sangat berbeda dengan Black Label Society. Ketika Black Label Society latihan, akan ada istirahat untuk pesta barbeque, latihannya malah tidak terlalu banyak. Sedangkan di Megadeth latihan adalah latihan.

Apa yang sebenarnya terjadi saat Anda keluar dari Megadeth?
Saya menemukan fakta bahwa mereka mencoba menarik Ellefson kembali. Tapi mereka tidak pernah memberitahu saya sebelumnya. Itu sebuah kejutan tapi bukan goncangan. Itu menjadi kejutan karena memang sudah waktunya bagi dua Dave itu berbicara dan membuat sebuah kesepakatan, tapi saya tidak menyangka akan terjadi secepat itu juga. Jadi mereka memberikan saya asuransi. Kebijakan asuransi [tertawa]. Saya akan lebih suka jika mereka telah mengatakan bahwa itu adalah rencananya sejak awal, sehingga saya bisa merencanakan masa depan saya. Saya menerima telepon sejam sebelum hal itu diumumkan tanpa saya tahu apa-apa. It was really pretty shifty. Ini bisnis musik, bukan bisnis persahabatan. Saya mengerti itu. Beginilah memang hidup kadang-kadang. Saya sungguh-sungguh berpikir bahwa itu gagasan yang hebat, karena Megadeth dalam perayaaan Rust In Peace. Jadi dengan menarik David Ellefson kembali dan tur Big 4 itu akan menjadi sangat menarik. Bahkan untuk saya seorang penggemar Megadeth.

Ketika itu terjadi, saya keberatan tapi tidak apa-apa. Jadi, sekaligus untuk menjawab pertanyaan Anda sebelumnya, saya menjadi personil Lynch Mob adalah hal yang sangat mudah. Itu adalah sebuah band jam dengan lagu-lagu yang hebat, pemain gitar yang hebat, pemain drum Brian Tichy adalah teman lama saya. Jadi band itu secara keseluruhan hebat. Itu adalah hal yang menyenangkan.

Anda kehilangan pekerjaan. Sedih atau marah?
Tidak sama sekali. Karena saya sudah pernah seperti ini. Bukan dalam arti saya pernah dipecat sebelumnya, tapi saya tidak pernah bertahan lebih dari empat atau lima tahun di semua band yang saya masuki. Dan kemudian band berhenti berbisnis (maksud Lomenzo adalah White Lion—red). Dalam kasus kali ini bandnya bukan berhenti berbisnis, melainkan ingin beranjak ke tahap bisnis yang lain. Seperti yang saya bilang, saya mengerti alasannya. Dan ketika saya bergabung di Megadeth adalah karena mereka membutuhkan pemain bas. Mereka belum menemukan seseorang seperti David Ellefson yang bisa menjaga kelangsungan Megadeth. Jadi karena itulah saya ada di sana saat itu. Kini mereka telah memiliki David Ellefson kembali, dia adalah orang yang tepat untuk pekerjaan itu sebagai pemain bas asli. Saya benar-benar merasa baik-baik saja tentang itu. Saya tidak bisa marah, karena seperti yang saya bilang ini adalah bisnis musik bukan bisnis pertemanan.

Kelihatannya Anda menikmati menjadi session-musician...
Itu sesuatu yang terjadi begitu saja. Saya tidak pernah merencanakannya. Sewaktu muda saya pernah mengatakan ingin menjadi lead-singer dan leader. Tapi sepertinya arus membawa saya ke arah yang berbeda. Dan saya tidak melawannya. Sebenarnya sekarang saya punya band lain yang sedang saya kerjakan juga. Itu adalah band trio. Dan saya belum bisa mengatakan kepada Anda sekarang siapa saja personilnya, tapi saya akan menjadi penyanyi di band itu. Jadi ini adalah proyek selanjutnya.

Anda memiliki suara yang bagus, semua orang mengatakan itu.
I do have pretty good voice, thank you. [tertawa]