Senin, 05 Maret 2012

Paul McCartney, Yesterday and Today

Jakarta - Dalam perjalanan menuju kerja di pagi ini, Paul McCartney harus menunggu beberapa pejalan kaki di marka penyeberangan. Mereka berdiri berkelompok, memegang kamera, menutupi jalan yang dikelilingi pohon di London. Sementara McCartney duduk dengan sabar di mobil SUV-nya, tak ada yang menoleh ke arahnya – turis-turis itu terlalu sibuk memotret diri menyeberang Abbey Road.

“Ini sudah beberapa kali terjadi pada saya,” kata McCartney belakangan, sambil tertawa kecil. “Saya cukup menikmati momen itu. Ada metafora yang kuat di dalamnya. Tapi ada begitu banyak metafora dalam kehidupan saya – saya tidak mencarinya. Kehidupan seorang anggota The Beatles sarat akan metafora.”

Sambil menahan godaan untuk turun dari mobil dan berpose dengan penggemarnya, dia malah menuju lokasi keramat dengan aroma yang apek: Studio Two di Abbey Road. “Selamat datang di dunia saya,” kata McCartney, sambil melangkah melalui pintu ganda di belakang ruang seperti gimnasium yang berbentuk persegi panjang dengan langit-langit tinggi. Dia sedang mengunyah permen karet. “Kuno dan modern. Setiap kali datang ke sini, saya mengenang kembali seluruh kisahnya. Semuanya terjadi di sini.”

The Beatles merekam sebagian besar musik mereka, mulai dari “Love Me Do” hingga “The End”, dalam ruang bawah tanah berwarna putih yang jauh dari kesan glamor ini – dan juga lolos dalam audisi pertama untuk EMI di sini hampir genap 50 tahun yang lalu. Selain beberapa peredam akustik yang agak baru dan jam dinding yang berbeda, nyaris tak ada yang berubah. Di satu sudut, McCartney berteriak, “One, two, three, faw!” untuk membuka “I Saw Her Standing There”; di sudut lain, dia menghantam kord E-mayor pada salah satu dari sekian banyak piano yang terdapat di akhir lagu “A Day in the Life”.

Saat ini, tanpa alasan tertentu, dia sedang bermain drum. Tak lama setelah tiba, McCartney duduk di balik perangkat drum, mengambil sepasang stik dan memainkan beberapa bar dengan tempo cepat, dan banyak memukul high-hat. Terdengar sangat Beatles, atau setidaknya Wings.

McCartney menunjuk ke tangga di pojok ruangan, yang menuju ruang kontrol berjendela tempat George Martin dan para engineer bekerja. “Di sanalah tempat tinggal para orang dewasa,” katanya. “Tangga itu begitu khas, sehingga terukir dalam ingatan bagaikan mimpi.”

Cuaca pada hari di akhir Januari ini berangin kencang, tapi sesuai dengan sosoknya yang awet muda, pria berusia 69 tahun ini tidak memakai jaket – hanya rompi North Face hitam di atas kemeja denim rapi yang dimasukkan ke jeans berwarna gelapnya, yang mungkin juga baru diseterika. Di kakinya terdapat sepatu lari hitam dengan pinggir-an putih: Jika terjadi adegan massa histeris seperti di "A Hard Day’s Night", dia siap untuk bergerak. Rambutnya yang masih indah terlihat lebih berantakan dari biasanya, dan dia tampak agak pucat – dia telah bekerja terlalu keras.

“Ada begitu banyak kenangan saya di sini, Anda tak bisa membayangkannya,” kata McCartney. “Sulit dipercaya.” Dia menunjuk ke pojok belakang. “John berdiri di sana, menyanyikan ‘Girl’.” Dia menyanyikan refrain-nya, meniru suara Lennon yang menarik nafas dan berlagak mengisap ganja. “Orang-orang mengira itu yang terjadi – padahal bukan! Kami hanya suka suara desis itu. Semua kisah legendaris yang tercipta itu tidak benar. Beberapa malam yang lalu saya menonton program tentang The Beatles, dan dalam lima menit pertama terdapat empat kesalahan. Inilah sebabnya kita tidak tahu Shakespeare itu siapa atau apa yang benar-benar terjadi di Perang Hastings.”

Sebagaimana tersirat oleh insiden di penyeberangan, sebuah mitos berkepala empat yang kadang mengancam akan membayang-bayangi Paul McCartney, seorang manusia nyata – pengantin baru, dengan harta nyaris mencapai miliaran dollar, vegetarian yang taat, ayah putri berusia 8 tahun (serta empat anak yang sudah dewasa), penggelar konser tiga jam yang awet muda, pencipta lagu dan artis rekaman yang sangat aktif, komponis balet dan simfoni, ksatria kerajaan. Di album barunya, Kisses on the Bottom, McCartney menambah predikat “pelantun lagu-lagu standar” – ini adalah koleksi lagu-lagu pra-rock bernuansa jazzy, ditambah dua lagu McCartney yang diciptakan dengan gaya serupa.

Album ini sudah tertunda selama bertahun-tahun, antara lain karena orang-orang lain – dari Ringo Starr di tahun 1970 hingga Harry Nilsson di 1973 dan Rod Stewart selama kurang lebih seribu tahun terakhir – terus melakukannya. Dia juga enggan memperkuat persepsi tentang dirinya yang sempat dominan, yakni sebagai penyanyi balada yang sentimentil, kebalikan dari sosok John Lennon yang rocker mentah. “Saya sudah tak ambil pusing,” kata McCartney. “Jika orang-orang belum tahu sisi lain diri saya, berarti sudah terlambat.” Namun, Kissing adalah sebuah perkecualian. Seminggu sebelum album itu dirilis, McCartney sudah mengerjakan album rock yang baru. Sejauh ini, dia memainkan sendiri semua instrumennya: bas, gitar, keyboard dan drum yang dipersiapkan di Studio Two adalah miliknya semua. “Rencananya adalah melakukan apa yang saya lakukan sekarang, yaitu nyaris langsung mengerjakan album studio yang baru, jadi orang-orang tidak langsung menyimpulkan saya sudah selesai, saya sekarang ada di genre jazz.”

Hari ini, untuk album baru itu dia sedang merekam lagu berjudul “Hosannah” – sebuah balada akustik yang akan cocok masuk ke album solonya yang pertama, McCartney (dari 1970, album lain di mana dia memain-kan semuanya). Sementara dia memakai headphone dan mulai bekerja – dan menghasilkan suara bagaikan terompet dari bas Hofner tua berbentuk biola yang sudah terkenal itu, dan menghentakkan kaki mengikuti- irama – nyaris sulit untuk mendengarnya dengan semua kenangan yang ada di udara.
Tapi McCartney tidak menganggapnya demikian: Dia senang bekerja di sini, dan dia tidak merasa terbebani oleh masa lalunya. “Mengenai terbayang-bayang, itu sesuatu yang harus diikhlaskan,” katanya. “Saya sudah menerimanya. Saat menulis lagu, lagu-lagu saya yang lain membayang-bayanginya. Saya rasa begitu kita menulis lagu bagus, itu adalah kutukan. Selalu berpikir, ‘Sial, saya baru menulis “Eleanor Rigby”, bagaimana saya bisa membuat yang lebih baik?’ Saya rasa kita harus berpikir, ‘Tidak akan.’ Kita harus sadar bahwa kita tak mungkin membuat yang lebih baik, tapi malah menulis ‘Blackbird’. Kita coba ke jalan lain atau semacamnya. Jika kita beruntung. Sejak dulu saya sadar akan fenomena itu, tapi saya tak pernah membiarkannya menghalangi saya.”

McCartney cukup sadar diri untuk bisa memahami ironi lainnya: tak seperti artis pop dan rock lain yang merekam album-album pop klasik, dialah yang bertanggung jawab atas penyingkiran Great American Songbook (tentu saja dengan bantuan Lennon dan Bob Dylan). “Kami memperhatikan itu terjadi,” katanya. “Kami melihat orang-orang yang kami kagumi- berkata, ‘The Beatles merusaknya untuk kita,’ dan kami tak bermaksud melakukan itu. Kami hanya melakukan apa yang kami lakukan.”

“Kami tak ingin membasmi masa lalu, tapi itulah yang terjadi, sehingga orang-orang seperti Harold Arlen, yang kami sangat kagumi karena menulis lagu-lagu seperti ‘Somewhere Over the Rainbow’, kehilangan popularitas di saat kami menjadi populer, dan tak ada lagi permintaan untuk penulis lagu hebat seperti Leiber and Stoller, karena orang-orang mulai meniru kami dan menulis lagu sendiri. Jadi The Hollies dan The Rolling Stones mulai menulis dan berpikir, ‘Ide ini cukup keren.’ Jadi, ya, itu mengawali tren yang cenderung menyingkirkan beberapa orang kesukaan kami, dan itu disayangkan.”

Sehari setelah sesi rekamannya, McCartney kembali ke Studio Two, dan sedang duduk di atas kursi lipat di balik meja kayu kecil, di antara keyboard tua yang dibawanya. Dia sedang makan bagel dengan campuran hummus dan Marmite, sebuah saus asin buatan Inggris, dan kadang berbicara de-ngan mulut penuh, yang mungkin merupakan hak bagi seorang ksatria. Dia bersikeras agar saya mencoba hummus-nya – “Ini yang terbaik di dunia, sangat empuk” – dan mengoleskan sedikit di sudut piringnya: “Celupkan jarinya ke dalam itu dan coba, ayo!” Saya menaatinya, dan menyadari jari saya agar bergetar dalam perjalanan: itu hummus Beatles!

Belakangan ini McCartney banyak berpikir tentang pengaruh besar musik klasik pra-rock terhadap karya cipta lagu The Beatles – dia dan Lennon sudah berusia remaja sebelum pertama kali mendengar Elvis Presley, Little Richard, Chuck Berry dan Buddy Holly. “Kami tumbuh dengan menonton film-film Fred Astaire, dan itu agak tersingkirkan oleh rock & roll,” katanya, sambil menggigit bagelnya, “tapi pengaruh itu masih ada. The Rolling Stones terpengaruh oleh blues, dan kami terpengaruh oleh rock & roll – dan juga blues, dalam kadar tertentu – tapi juga, tanpa disadari, unsur melodi The Beatles, serta beberapa unsur struktural, berasal dari bagian belakang otak, yakni musik tua yang dinyanyikan orang tua kami.”

Jim, ayah McCartney, adalah pemain terompet jazz yang punya band di tahun 20-an. Dia juga seorang pianis amatir, dan kenangan awal Paul seputar musik termasuk berbaring di lantai dekat piano dan menyimak ayahnya memainkan lagu-lagu yang dinyanyikan Paul di album barunya. “Tidak ada rekaman ayah saya,” katanya. “Tapi kamera jiwa saya sudah merekamnya. Bagi saya dia sangat bagus, tapi dia takkan berpikir dirinya cukup baik untuk menjadi profesional. Orang-orang yang menyewa bandnya pun jelas tidak merasa mereka bagus, karena dia harus terus mengganti namanya agar diundang tampil.” Belakangan, ayahnya melobi agar The Beatles membawakan “I’ll Buy a Staircase to Paradise” – malah, mereka membuat lagu seperti “Your Mother Should Know” dan “When I’m Sixty-Four”. “Musik nenek,” menurut istilah Lennon – walau McCartney sigap menegaskan bahwa John suka lagu-lagu tua itu juga.

McCartney merekam Kisses on the Bottom bersama Tommy LiPuma, seorang produser standards-and-jazz senior yang mengajak pianis Diana Krall sebagai music director. McCartney sudah kenal dan menyukai Krall: Dia menghadiri pernikahannya dengan kolaborator lamanya, Elvis Costello, “di rumah Elton”. Mereka lebih banyak rekaman di Capitol Studios, Los Angeles – McCartney bernyanyi dengan mikrofon yang pernah dipakai Frank Sinatra dan Nat “King” Cole – dan di New York, McCartney bersikeras pergi ke studio pada hari Badai Irene seharusnya menerjang. “Yang absen dari banyak orang yang menafsirkan musik ini,” kata Krall, “adalah mereka hanya berpikir, 'Hei, kami hanya menyanyikan lagu-lagu standar,' dan itu tidak benar. Ini lebih berat dari itu. Paul menemukan kisahnya sendiri di dalamnya.”

“My Valentine”, salah satu lagu asli ciptaan McCartney, ditulis untuk Nancy Shevell, pengusaha cantik berusia 51 tahun yang dinikahinya Oktober lalu. Kalimat pembukanya – “What if it rained/We didn’t care” – berasal dari ucapan Shevell saat mereka berlibur ke Maroko. McCartney bergegas menuju piano tua di hotel mereka, tempat hampir seluruh lagu itu tercipta dalam seketika. Setelah dua pernikahan yang banyak disorot, McCartney enggan membicarakan yang ketiga – tapi dia mengaku itu telah membuat cara pandangnya lebih cerah.

“Memang, ya,” katanya, sambil mengangguk pelan-pelan. “Saya percaya pada cinta. The Beatles bernyanyi tentangnya; semua orang lain bernyanyi tentangnya. Mungkin Anda dan istri Anda mempercayainya. Ini adalah ide yang cukup populer! Jadi menemukan cinta setelah perceraian itu menyenangkan, sangat menyegarkan. Dan Nancy hebat, dia memikat, menarik, baik hati, cerdas, emosional dan segala yang kita inginkan dalam pasangan. Dia sungguh cantik. Dia kocak, pintar, hebat, semuanya ada.”

Reaksi Shevell terhadap lagu cinta terbaru McCartney agak halus. “Dia agak pemalu, jadi dia hanya menampakkan lesung pipi,” katanya. “Tapi saya tahu dia menyukainya. Dia tidak berlebihan – 'Dengar ini, ini lagu yang dia baru tulis untuk saya!' – tapi saya tahu dia menghargainya.”

Tidak ada komentar: