Senin, 16 April 2012

Whitney Houston : Sisi Gelap Sang Diva Oleh: David Browne

Jakarta - Pada awal malam 7 Februari, Whitney Houston bersiap meraih kembali posisinya di dunia musik. Dengan memakai celana dan baju hangat hitam, dia datang bersama Patricia Houston, kakak ipar dan manajernya, ke studio milik produser Harvey Mason, Jr. di North Hollywood. Whitney baru saja menyelesaikan syuting untuk film Sparkle, dan malam itu dia berencana merekam vokal untuk “Celebrate”, sebuah lagu duet bersama lawan mainnya, Jordin Sparks, yang ditulis oleh R. Kelly dan akan masuk ke soundtrack film itu. Setelah pemanasan vokal, Houston menghampiri mikrofon. Suaranya sudah bukan lagi instrumen dahsyat yang mampu menjangkau banyak oktaf

Sebagaimana terdengar pada lagu-lagu hit berstatus platinum dari tahun ’80-an dan ’90-an. Dia sudah menghabiskan beberapa hari bersama Mason untuk menggarap bagian vokalnya, dan masih belum rampung juga. “Ada hari di mana Whitney terdengar luar biasa; ada hari di mana dia terdengar cukup baik; dan ada hari di mana dia terdengar tidak baik,” kata Mason. “Tapi dia benar-benar bekerja keras agar lebih baik.” Sesi rekaman kali ini tergolong lebih baik dari yang lain; setelah take terakhir, dengan bersemangat Houston bertanya ke Mason, “You got it, you got it?” Saat Mason menbenarkan, Houston berteriak, “Now play it!” Keduanya menari di depan speaker sementara lagu pesta itu mengguncang studio. Untuk sesaat, masalah-masalah yang menggerogoti Houston selama lebih dari satu dekade terlupakan.

Sparkle, versi baru dari film tentang industri musik di tahun 1976, seharusnya menandakan kembalinya Houston ke layar lebar untuk pertama kali dalam 16 tahun; dia memerankan ibu seorang calon penyanyi yang diperankan Sparks. Sewaktu masih remaja, Houston menyukai film aslinya, yang bercerita tentang sebuah trio R&B – salah satu anggotanya tewas akibat overdosis, sementara anggota lainnya menjadi bintang. “Setiap hari Sabtu selama empat bulan saya tonton filmnya dari tayangan siang hingga malam di bioskop,” kata Houston kepada segerombolan wartawan, November lalu. “Itu adalah dorongan positif bagi perempuan Afrika-Amerika muda, bahwa seseorang dapat mengejar mimpi atau keinginannya.”

Aretha Franklin, yang sudah lama menjadi teman keluarganya, menghadiri preview versi baru film itu dan lega dengan apa yang dilihatnya. “Seperti halnya hanyak artis, Whitney sempat tersesat, tapi dia menemukan jalannya lagi,” kata Franklin. “Menurut saya dia tampak memukau di film itu. Dia terlihat segar, sehat dan sebagainya.”

Tapi di hari-hari setelah sesi rekaman bersama Mason, sisi gelap Houston kembali muncul. Dia terlihat di beberapa klub malam Hollywood dengan perilaku aneh dan mungkin sedang mabuk. Secara mengejutkan, dia hadir dalam keadaan bau rokok dan alkohol di konferensi pers yang diselenggarakan mentornya, Clive Davis. Pada Sabtu 11 Februari, Houston berencana menghadiri pesta pra-Grammy Awards yang diadakan Davis setiap tahun di hotel Beverly Hilton, tempat ia juga menginap. Houston terbang dari rumahnya di Alpharetta, Georgia, untuk menghadiri pesta itu dan menggarap lagu-lagu Sparkle. Tapi pada sore itu, setelah menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi ruang hotel yang disewanya pada lantai empat, anggota rombongannya mendobrak pintu dan menemukannya telah tenggelam di bak mandi. Houston dinyatakan wafat pada usia 48 tahun. Saat artikel ini diterbitkan, penyebab kematiannya masih belum dipastikan, karena laporan toksikologi belum diedarkan, namun detektif kepolisian Beverly Hills mengumumkan bahwa beberapa jenis obat resep, yang kabarnya termasuk Xanax, ditemukan di kamarnya.

Profesional yang rajin di satu saat, anak liar di saat berikutnya: Itulah sisi-sisi kehidupan Houston yang bertolak belakang di hari-hari terakhirnya – dan ternyata sepanjang hidupnya juga. Diberkati perpaduan tak tertandingi antara kekuatan paru-paru yang hebat, rupa fisik bagaikan model dan citra yang hangat sekaligus mewah, Houston adalah sosok langka dalam dunia pop: seorang bintang lintas bidang sejati, yang mampu menjangkau dunia musik dan film, penggemar muda dan tua, kulit hitam dan putih. “Berkat sepupunya, Dionne [Warwick], dia memahami semua melodi cantik oleh Burt Bacharach itu,” kata Narada Michael Walden, salah satu dari sekian banyak produser Houston. “Tapi karena dia muda dan berasal dari era Michael Jackson, Prince dan Madonna, dia juga punya soul – ritme itu. Dia punya dua sisi itu. Selain itu, dia begitu cantik. Kita tak mampu menolak pesonanya.”

Tapi setelah mencapai puncak dengan menyanyikan “The Star Spangled Banner” pada tahun 1991 dan tampil di The Bodyguard pada tahun 1992, penggemarnya menyaksikan sisi gelap Houston terungkap ke dunia, tahun demi tahun: Suaranya semakin serak, wajahnya mengeras. Saat albumnya keluar, penjualannya tidak sebaik sebelumnya; di atas panggung, dia terlihat kurang siap secara fisik dan vokal.

Orang-orang yang pernah bekerja dengannya masih merasa sulit memahami sisi gelapnya. “Banyak di antara kami yang membicarakannya, dan tak ada yang bisa menemukan jawaban,” kata Gerry Griffith, staf A&R yang merekomendasikan Houston ke Davis sekitar tahun 1982. “Dari mana pemberontakan ini berasal? Itu baru muncul setelah waktu yang lama.” Saat itu terjadi, kemunculannya sungguh dahsyat, dan nyaris menghancurkan kehidupan pribadinya, kariernya dan musiknya. (bersambung...)