Senin, 12 Maret 2012

Noel Gallagher Tak Lagi Mengejar Kesuksesan

Jakarta - Musisi Noel Gallagher memang masih eksis berkarya walaupun tidak lagi bersama Oasis. Tapi bukan kesuksesan yang dikejar Noel kini.

Kakak dari musisi Liam Gallagher itu mengaku sudah cukup menikmati kesuksesan ketika berkarier sebagai gitaris juga penulis lagu Oasis. Tapi kini ia merasa nyaman bersolo karier dengan proyek High Flying Birds.

"Ada titik pada 90-an dan di awal 2000 di mana saya terobsesi dengan kesuksesan, mengejar hits besar dan sebagainya, tapi saya cukup menikmatinya sekarang," ujar Noel dilansir Female First, Senin (12/3/2012).

Sukses tidak lagi dipikirkan Noel. Menulis lagu baginya sudah seperti candu. Noel tak bisa meninggalkan kebiasaannya menciptakan lagu.

"Kadang saya bisa menulis lima lagi sekali jalan, sangat cepat, dalam waktu lima minggu dan kadang saya berbulan-bulan tanpa menulis apapun, dan lalu saya khawatir, nervous dan merasa 'Oh, saya harus menulis sesuatu'," jelasnya.

Liam Gallagher Terpilih Sebagai Frontman Terbaik Sepanjang Masa

Jakarta - Vokalis band Britpop, Beady Eye, Liam Gallagher dikabarkan baru saja terpilih sebagai frontman terbaik sepanjang masa.

Melalui sebuah polling yang diadakan oleh XFM, sebuah radio komersil yang khusus memutar musik-musik alternatif di Inggris, kepada para pendengar mereka, ditemukan bahwa mantan vokalis Oasis itu menduduki peringkat pertama, mengalahkan penyanyi band rock legendaris, Queen, Freddie Mercury yang duduk di peringkat ke dua.

Tiga terbawah dari lima besar polling tersebut diraih oleh, Dave Gahan dari Depeche Mode, vokalis Foo Fighters, Dave Grohl, dan vokalis sekaligus gitaris Muse, Matt Bellamy yang hanya mampu bertengger di posisi lima.

Brandon Flowers dari The Killers menyusul di peringkat enam, yang kemudian di susul oleh mantan vokalis The Smiths, Morrissey dan vokalis The Doors, Jim Morrison yang masing-masing singgah di urutan tujuh dan delapan.

Sedangkan dua terakhir di urutan sepuluh besar terdapat nama vokalis kharismatik Nirvana, mendiang Kurt Cobain dan vokalis band indie rock asal Sheffield, Inggris, Arctic Monkeys, Alex Turner.

Menanggapi kabar ini, Liam Gallagher pun meresponnya dengan santai. “Frontman terbaik? Saya sudah tahu itu! Tidak banyak yang seperti kami. Banyak sekali orang yang suka berpura-pura di luar sana. Namun saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semuanya karena telah memilih dan menyanggupi hal itu. Pilihan yang tepat,” ungkap Liam.

Tak hanya itu, adik Noel Gallagher ini pun mengakui bahwa dirinya terlalu tampan untuk tidak berada pada posisi vokal dalam sebuah band. “Itu selalu tentang vokal untuk saya, man. Jika Anda adalah seorang yang berwajah tampan seperti saya, Anda harus menjadi yang di depan (panggung), bukan begitu?” ungkapnya lagi.

Meskipun ia terpilih sebagai frontman terbaik saat dirinya bersama band barunya, Beady Eye, namun Liam mengakui bahwa ia akan lebih menyukai berada di depan panggung ketika bersama Oasis.

“Meskipun saya cinta Beady Eye, saya lebih memilih untuk berada di Oasis, karena itu adalah milik saya. Oasis adalah hidup saya,” kata Liam di sebuah sesi wawancara bulan lalu.

Rabu, 07 Maret 2012

Vokalis Coldplay Tidak Menyesal Menamakan Judul Album 'Mylo Xyloto'

Jakarta - Setelah beberapa hari yang lalu dikabarkan telah menyesal memberi judul album terbaru mereka Mylo Xyloto, vokalis Coldplay, Chris Martin, langsung menyanggah pernyataannya tersebut.

Melalui akun Twitter resmi milik Coldplay, @coldplay, ia mengaku pernyataannya di salah satu acara televisi tersebut hanya lelucon belaka.

No regrets at all about 'Mylo Xyloto' as album title. We love it. Only regret attempting JOKE on early morning TV. CM,” tulis Chris melalui akun tersebut pada Selasa (6/3) kemarin.

Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah wawancara di acara televisi Good Morning America, Chris mengaku telah menyesal memberi nama album mereka Mylo Xyloto. Pada awalnya, Chris dan personel Coldplay lainnya ingin nama album terbaru mereka terdiri dari dua kata dan kata tersebut tidak akan bisa dicari artinya, bahkan melalui situs Google sekalipun, sehingga terpilih lah nama tersebut.

“Itu hanya sesuatu yang kami pikir akan terlihat sangat baik, tetapi kemanapun kami pergi berkeliling dunia orang-orang mengucapkannya dengan cara yang paling gila dan kami mulai menyesalinya sekarang,” ujar Chris.

Dalam wawancara tersebut,vokalis yang juga lihai bermain piano tersebut juga menceritakan bahwa Coldplay memilih nama Mylo Xyloto karena menurut mereka dua kata tersebut terlihat bagus memiliki dua huruf “O”.

Vokalis The Who: 'Oasis Akan Bersatu Kembali Empat Tahun Mendatang'

Jakarta - Vokalis legendaris The Who, Roger Daltrey percaya bahwa band pionir Britpop '90an, Oasis akan bersatu kembali dalam waktu empat tahun ke depan.

Berbicara kepada XFM, Daltrey mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri jika dua Gallagher bersaudara, Noel dan Liam akan menyatukan perbedaan mereka untuk bermain bersama lagi dan menjadi lebih populer dari sebelumnya.

“Anda cukup tahu bahwa mereka akan bersama - saya memprediksi dalam kurun waktu empat tahun. Dan itu akan menjadi ajaib. Mereka akan lebih besar dari yang pernah ada dan mereka akan minum dua kali lebih banyak,” kata musisi berkacamata ini.

Desember lalu dikabarkan bahwa Liam menegaskan dirinya akan terbuka untuk reuni dengan Oasis saat merayakan ulang tahun ke-20 album (What’s The Story) Morning Glory di tahun 2015 mendatang.

Sementara itu, sebulan kemudian, kakak Liam, Noel Gallagher seakan memudarkan harapan reuni itu. Menurutnya, sang adik punya aturan yang “susah” diterima Oasis, yang mana pasti sulit pula baginya untuk menyanyikan lagu-lagu yang dituliskan oleh orang lain.

Perpecahan Oasis terjadi tiga tahun tahun lalu saat Gallagher bersaudara bersitegang disebuah festival musik di Prancis yang dipicu perkelahian di antara keduanya. Insiden itupun mengakhiri “kisah” Oasis yang terbentuk sejak 1991 silam.

Pasca peristiwa itu, Liam, sang vokalis dan beberapa anggota lainnya membentuk band Beady Eye, sedangkan Noel sang kakak - gitaris Oasis dan pencipta lagu-lagu hit band tersebut di tahun ’90-an - telah merilis album solo pertamanya di bawah nama High Flying Birds.

Roger Daltrey sendiri saat ini dikabarkan tengah sibuk menjadi pengisi acara utama pada konser amal untuk Teenage Cancer Trust tahun ini. Dimana konser tersebut akan dimainkannya bersama beberapa artis lainnya seperti Pulp, Florence And The Machine, dan Paul McCartney di Royal Albert Hall, London pada 28 Maret nanti.

Senin, 05 Maret 2012

Paul McCartney, Yesterday and Today

Jakarta - Dalam perjalanan menuju kerja di pagi ini, Paul McCartney harus menunggu beberapa pejalan kaki di marka penyeberangan. Mereka berdiri berkelompok, memegang kamera, menutupi jalan yang dikelilingi pohon di London. Sementara McCartney duduk dengan sabar di mobil SUV-nya, tak ada yang menoleh ke arahnya – turis-turis itu terlalu sibuk memotret diri menyeberang Abbey Road.

“Ini sudah beberapa kali terjadi pada saya,” kata McCartney belakangan, sambil tertawa kecil. “Saya cukup menikmati momen itu. Ada metafora yang kuat di dalamnya. Tapi ada begitu banyak metafora dalam kehidupan saya – saya tidak mencarinya. Kehidupan seorang anggota The Beatles sarat akan metafora.”

Sambil menahan godaan untuk turun dari mobil dan berpose dengan penggemarnya, dia malah menuju lokasi keramat dengan aroma yang apek: Studio Two di Abbey Road. “Selamat datang di dunia saya,” kata McCartney, sambil melangkah melalui pintu ganda di belakang ruang seperti gimnasium yang berbentuk persegi panjang dengan langit-langit tinggi. Dia sedang mengunyah permen karet. “Kuno dan modern. Setiap kali datang ke sini, saya mengenang kembali seluruh kisahnya. Semuanya terjadi di sini.”

The Beatles merekam sebagian besar musik mereka, mulai dari “Love Me Do” hingga “The End”, dalam ruang bawah tanah berwarna putih yang jauh dari kesan glamor ini – dan juga lolos dalam audisi pertama untuk EMI di sini hampir genap 50 tahun yang lalu. Selain beberapa peredam akustik yang agak baru dan jam dinding yang berbeda, nyaris tak ada yang berubah. Di satu sudut, McCartney berteriak, “One, two, three, faw!” untuk membuka “I Saw Her Standing There”; di sudut lain, dia menghantam kord E-mayor pada salah satu dari sekian banyak piano yang terdapat di akhir lagu “A Day in the Life”.

Saat ini, tanpa alasan tertentu, dia sedang bermain drum. Tak lama setelah tiba, McCartney duduk di balik perangkat drum, mengambil sepasang stik dan memainkan beberapa bar dengan tempo cepat, dan banyak memukul high-hat. Terdengar sangat Beatles, atau setidaknya Wings.

McCartney menunjuk ke tangga di pojok ruangan, yang menuju ruang kontrol berjendela tempat George Martin dan para engineer bekerja. “Di sanalah tempat tinggal para orang dewasa,” katanya. “Tangga itu begitu khas, sehingga terukir dalam ingatan bagaikan mimpi.”

Cuaca pada hari di akhir Januari ini berangin kencang, tapi sesuai dengan sosoknya yang awet muda, pria berusia 69 tahun ini tidak memakai jaket – hanya rompi North Face hitam di atas kemeja denim rapi yang dimasukkan ke jeans berwarna gelapnya, yang mungkin juga baru diseterika. Di kakinya terdapat sepatu lari hitam dengan pinggir-an putih: Jika terjadi adegan massa histeris seperti di "A Hard Day’s Night", dia siap untuk bergerak. Rambutnya yang masih indah terlihat lebih berantakan dari biasanya, dan dia tampak agak pucat – dia telah bekerja terlalu keras.

“Ada begitu banyak kenangan saya di sini, Anda tak bisa membayangkannya,” kata McCartney. “Sulit dipercaya.” Dia menunjuk ke pojok belakang. “John berdiri di sana, menyanyikan ‘Girl’.” Dia menyanyikan refrain-nya, meniru suara Lennon yang menarik nafas dan berlagak mengisap ganja. “Orang-orang mengira itu yang terjadi – padahal bukan! Kami hanya suka suara desis itu. Semua kisah legendaris yang tercipta itu tidak benar. Beberapa malam yang lalu saya menonton program tentang The Beatles, dan dalam lima menit pertama terdapat empat kesalahan. Inilah sebabnya kita tidak tahu Shakespeare itu siapa atau apa yang benar-benar terjadi di Perang Hastings.”

Sebagaimana tersirat oleh insiden di penyeberangan, sebuah mitos berkepala empat yang kadang mengancam akan membayang-bayangi Paul McCartney, seorang manusia nyata – pengantin baru, dengan harta nyaris mencapai miliaran dollar, vegetarian yang taat, ayah putri berusia 8 tahun (serta empat anak yang sudah dewasa), penggelar konser tiga jam yang awet muda, pencipta lagu dan artis rekaman yang sangat aktif, komponis balet dan simfoni, ksatria kerajaan. Di album barunya, Kisses on the Bottom, McCartney menambah predikat “pelantun lagu-lagu standar” – ini adalah koleksi lagu-lagu pra-rock bernuansa jazzy, ditambah dua lagu McCartney yang diciptakan dengan gaya serupa.

Album ini sudah tertunda selama bertahun-tahun, antara lain karena orang-orang lain – dari Ringo Starr di tahun 1970 hingga Harry Nilsson di 1973 dan Rod Stewart selama kurang lebih seribu tahun terakhir – terus melakukannya. Dia juga enggan memperkuat persepsi tentang dirinya yang sempat dominan, yakni sebagai penyanyi balada yang sentimentil, kebalikan dari sosok John Lennon yang rocker mentah. “Saya sudah tak ambil pusing,” kata McCartney. “Jika orang-orang belum tahu sisi lain diri saya, berarti sudah terlambat.” Namun, Kissing adalah sebuah perkecualian. Seminggu sebelum album itu dirilis, McCartney sudah mengerjakan album rock yang baru. Sejauh ini, dia memainkan sendiri semua instrumennya: bas, gitar, keyboard dan drum yang dipersiapkan di Studio Two adalah miliknya semua. “Rencananya adalah melakukan apa yang saya lakukan sekarang, yaitu nyaris langsung mengerjakan album studio yang baru, jadi orang-orang tidak langsung menyimpulkan saya sudah selesai, saya sekarang ada di genre jazz.”

Hari ini, untuk album baru itu dia sedang merekam lagu berjudul “Hosannah” – sebuah balada akustik yang akan cocok masuk ke album solonya yang pertama, McCartney (dari 1970, album lain di mana dia memain-kan semuanya). Sementara dia memakai headphone dan mulai bekerja – dan menghasilkan suara bagaikan terompet dari bas Hofner tua berbentuk biola yang sudah terkenal itu, dan menghentakkan kaki mengikuti- irama – nyaris sulit untuk mendengarnya dengan semua kenangan yang ada di udara.
Tapi McCartney tidak menganggapnya demikian: Dia senang bekerja di sini, dan dia tidak merasa terbebani oleh masa lalunya. “Mengenai terbayang-bayang, itu sesuatu yang harus diikhlaskan,” katanya. “Saya sudah menerimanya. Saat menulis lagu, lagu-lagu saya yang lain membayang-bayanginya. Saya rasa begitu kita menulis lagu bagus, itu adalah kutukan. Selalu berpikir, ‘Sial, saya baru menulis “Eleanor Rigby”, bagaimana saya bisa membuat yang lebih baik?’ Saya rasa kita harus berpikir, ‘Tidak akan.’ Kita harus sadar bahwa kita tak mungkin membuat yang lebih baik, tapi malah menulis ‘Blackbird’. Kita coba ke jalan lain atau semacamnya. Jika kita beruntung. Sejak dulu saya sadar akan fenomena itu, tapi saya tak pernah membiarkannya menghalangi saya.”

McCartney cukup sadar diri untuk bisa memahami ironi lainnya: tak seperti artis pop dan rock lain yang merekam album-album pop klasik, dialah yang bertanggung jawab atas penyingkiran Great American Songbook (tentu saja dengan bantuan Lennon dan Bob Dylan). “Kami memperhatikan itu terjadi,” katanya. “Kami melihat orang-orang yang kami kagumi- berkata, ‘The Beatles merusaknya untuk kita,’ dan kami tak bermaksud melakukan itu. Kami hanya melakukan apa yang kami lakukan.”

“Kami tak ingin membasmi masa lalu, tapi itulah yang terjadi, sehingga orang-orang seperti Harold Arlen, yang kami sangat kagumi karena menulis lagu-lagu seperti ‘Somewhere Over the Rainbow’, kehilangan popularitas di saat kami menjadi populer, dan tak ada lagi permintaan untuk penulis lagu hebat seperti Leiber and Stoller, karena orang-orang mulai meniru kami dan menulis lagu sendiri. Jadi The Hollies dan The Rolling Stones mulai menulis dan berpikir, ‘Ide ini cukup keren.’ Jadi, ya, itu mengawali tren yang cenderung menyingkirkan beberapa orang kesukaan kami, dan itu disayangkan.”

Sehari setelah sesi rekamannya, McCartney kembali ke Studio Two, dan sedang duduk di atas kursi lipat di balik meja kayu kecil, di antara keyboard tua yang dibawanya. Dia sedang makan bagel dengan campuran hummus dan Marmite, sebuah saus asin buatan Inggris, dan kadang berbicara de-ngan mulut penuh, yang mungkin merupakan hak bagi seorang ksatria. Dia bersikeras agar saya mencoba hummus-nya – “Ini yang terbaik di dunia, sangat empuk” – dan mengoleskan sedikit di sudut piringnya: “Celupkan jarinya ke dalam itu dan coba, ayo!” Saya menaatinya, dan menyadari jari saya agar bergetar dalam perjalanan: itu hummus Beatles!

Belakangan ini McCartney banyak berpikir tentang pengaruh besar musik klasik pra-rock terhadap karya cipta lagu The Beatles – dia dan Lennon sudah berusia remaja sebelum pertama kali mendengar Elvis Presley, Little Richard, Chuck Berry dan Buddy Holly. “Kami tumbuh dengan menonton film-film Fred Astaire, dan itu agak tersingkirkan oleh rock & roll,” katanya, sambil menggigit bagelnya, “tapi pengaruh itu masih ada. The Rolling Stones terpengaruh oleh blues, dan kami terpengaruh oleh rock & roll – dan juga blues, dalam kadar tertentu – tapi juga, tanpa disadari, unsur melodi The Beatles, serta beberapa unsur struktural, berasal dari bagian belakang otak, yakni musik tua yang dinyanyikan orang tua kami.”

Jim, ayah McCartney, adalah pemain terompet jazz yang punya band di tahun 20-an. Dia juga seorang pianis amatir, dan kenangan awal Paul seputar musik termasuk berbaring di lantai dekat piano dan menyimak ayahnya memainkan lagu-lagu yang dinyanyikan Paul di album barunya. “Tidak ada rekaman ayah saya,” katanya. “Tapi kamera jiwa saya sudah merekamnya. Bagi saya dia sangat bagus, tapi dia takkan berpikir dirinya cukup baik untuk menjadi profesional. Orang-orang yang menyewa bandnya pun jelas tidak merasa mereka bagus, karena dia harus terus mengganti namanya agar diundang tampil.” Belakangan, ayahnya melobi agar The Beatles membawakan “I’ll Buy a Staircase to Paradise” – malah, mereka membuat lagu seperti “Your Mother Should Know” dan “When I’m Sixty-Four”. “Musik nenek,” menurut istilah Lennon – walau McCartney sigap menegaskan bahwa John suka lagu-lagu tua itu juga.

McCartney merekam Kisses on the Bottom bersama Tommy LiPuma, seorang produser standards-and-jazz senior yang mengajak pianis Diana Krall sebagai music director. McCartney sudah kenal dan menyukai Krall: Dia menghadiri pernikahannya dengan kolaborator lamanya, Elvis Costello, “di rumah Elton”. Mereka lebih banyak rekaman di Capitol Studios, Los Angeles – McCartney bernyanyi dengan mikrofon yang pernah dipakai Frank Sinatra dan Nat “King” Cole – dan di New York, McCartney bersikeras pergi ke studio pada hari Badai Irene seharusnya menerjang. “Yang absen dari banyak orang yang menafsirkan musik ini,” kata Krall, “adalah mereka hanya berpikir, 'Hei, kami hanya menyanyikan lagu-lagu standar,' dan itu tidak benar. Ini lebih berat dari itu. Paul menemukan kisahnya sendiri di dalamnya.”

“My Valentine”, salah satu lagu asli ciptaan McCartney, ditulis untuk Nancy Shevell, pengusaha cantik berusia 51 tahun yang dinikahinya Oktober lalu. Kalimat pembukanya – “What if it rained/We didn’t care” – berasal dari ucapan Shevell saat mereka berlibur ke Maroko. McCartney bergegas menuju piano tua di hotel mereka, tempat hampir seluruh lagu itu tercipta dalam seketika. Setelah dua pernikahan yang banyak disorot, McCartney enggan membicarakan yang ketiga – tapi dia mengaku itu telah membuat cara pandangnya lebih cerah.

“Memang, ya,” katanya, sambil mengangguk pelan-pelan. “Saya percaya pada cinta. The Beatles bernyanyi tentangnya; semua orang lain bernyanyi tentangnya. Mungkin Anda dan istri Anda mempercayainya. Ini adalah ide yang cukup populer! Jadi menemukan cinta setelah perceraian itu menyenangkan, sangat menyegarkan. Dan Nancy hebat, dia memikat, menarik, baik hati, cerdas, emosional dan segala yang kita inginkan dalam pasangan. Dia sungguh cantik. Dia kocak, pintar, hebat, semuanya ada.”

Reaksi Shevell terhadap lagu cinta terbaru McCartney agak halus. “Dia agak pemalu, jadi dia hanya menampakkan lesung pipi,” katanya. “Tapi saya tahu dia menyukainya. Dia tidak berlebihan – 'Dengar ini, ini lagu yang dia baru tulis untuk saya!' – tapi saya tahu dia menghargainya.”

Vokalis Coldplay Menyesal Memberi Judul Album 'Mylo Xyloto'

Jakarta - Chris Martin, frontman Coldplay, mengaku menyesal memberi judul album studio kelima mereka dengan nama yang cukup aneh, Mylo Xyloto.

Pada awalnya, Chris dan personel Coldplay lainnya ingin nama album terbaru mereka terdiri dari dua kata dan kata tersebut tidak akan bisa dicari artinya, bahkan melalui situs Google sekalipun.

Sudah hampir lima bulan sejak dirilis pada tahun lalu, Chris Martin Cs mulai merasakan dampak memberi nama album mereka Mylo Xyloto.

“Itu hanya sesuatu yang kami pikir akan terlihat sangat baik, tetapi kemanapun kami pergi berkeliling dunia orang-orang mengucapkannya dengan cara yang paling gila dan kami mulai menyesalinya sekarang,” ujar Chris ketika diwawancarai oleh Good Morning America.

Vokalis yang juga lihai bermain piano tersebut, mengaku bahwa kata Mylo Xyloto tidak mempunyai arti apa-apa. “Hanya saja supaya merasa lebih segar untuk kami, ini baru. (Mylo Xyloto) tidak berarti apa pun kecuali hanya (nama album) musik,” imbuhnya.

“Kami memiliki nama tersebut (Mylo Xyloto) sebagai salah satu nama diantara banyak daftar kami selama dua tahun, untuk semua nama lain yang disarankan,(Mylo Xyloto) itu akhirnya menang,” tambah Chris.

Chris juga menceritakan bahwa mereka memilih nama Mylo Xyloto karena menurut mereka dua kata tersebut terlihat bagus memiliki dua huruf “O”.